ekonomi asean (suaramerdekacom)

Jumat, 24 Oktober 2003 Ekonomi
Line

Analisis
APEC, Peluang dan Ancaman

ADA perbedaan konstelasi ekonomi dan politik yang sangat menonjol pada pertemuan para pemimpin negara APEC yang berlangsung di Thailand, 20-21 Oktober 2003 lalu. Sebelum pertemuan APEC ini berlangsung, telah selesai pula sidang WTO di Meksiko yang gagal mengambil beberapa kesepakatan mengenai tarif. Juga, KTT Asean sudah mendahului pertemuan APEC tersebut dengan kesepakatan untuk membentuk Masyarakat Ekonomi Asean (AEC).

Menelaah peranan APEC tentunya harus melihat sumbu-sumbu kekuatan ekonomi dan politik di ke-21 negara anggota APEC. Dalam kerangka APEC tersebut, faktor Amerika jelas menjadi salah satu determinan. Kedua, Jepang, yang secara faktuil telah menjadi salah satu kutub kekuatan ekonomi dunia. Ketiga, peran Cina. Cina saat ini sudah masuk ke dalam negara berpenghasilan menengah bawah, dan sangat potensial menjadi super power baru di Asia. Keberhasilan Cina menjadi negara ketiga yang mampu mengirim manusia ke luar angkasa menjadi tambahan bukti Cina sebagai super power baru tersebut.

Keempat, peran Rusia di mana Presiden Rusia Vladimir Putin secara tegas sudah mengatakan ingin mengintegrasikan ekonominya ke arus perkembangan ekonomi Asia Pasifik. Kelima, negara-negara industri baru Asia. Empat Macan Asia tetaplah menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan dalam percaturan APEC. Keenam, ASEAN dengan kesepakatan Bali II membentuk AEC.

Dengan penduduk sekitar 2,5 miliar orang, total GDP saat ini sekitar 18 triliun dolar AS, dan volume perdagangan sekitar 47% perdagangan dunia, APEC merupakan sebuah kekuatan pasar yang luar biasa besar.

Perkembangan Ekonomi Dunia

Tahun 2004 perekonomian dunia diperkirakan akan lebih baik dibanding tahun 2003. Cepat selesainya perang Irak, menjadi salah satu sebab perkiraan kenaikan tersebut. Namun, bagi Asia kenaikan pertumbuhan tersebut tidak terlalu tinggi. Di samping karena masih terasanya dampak SARS, ketidakpastian politik masih mengganggu kinerja ekonomi Asia.

Perekonomian dunia tersebut diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,1% (World Economic Outlook, Oktober 2003). Pertumbuhan tersebut didukung oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara industri dari 1,8% pada tahun 2003 menjadi 2,9% pada tahun 2004. Ekonomi Amerika Serikat diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,9%, naik dibanding estimasi pertumbuhan tahun 2003 sebesar 2,6%.

Volume perdagangan dunia, diperkirakan akan naik dari 2,9% pada tahun 2003 menjadi 5,5% tahun 2004. Transaksi ekspor dari negara-negara maju akan naik dari 1,2% (2003) menjadi 5,2% (2004). Negara berkembang dari 4,3% (2003) menjadi 6,9% (2004). Ekspor negara-negara yang sedang dalam transisi diperkirakan akan turun dari 5,8% (2003) menjadi 5,6% (2004). Sementara impor oleh negara maju akan naik dari 2,8% (2003) menjadi 4,8% (2004) dan dari negara berkembang dari 5,1% (2003) menjadi 7,8% (2004). Impor oleh negara yang dalam proses transisi akan naik dari 6,6% (2003) menjadi 8,1% (2004).

Harga komoditi tahun 2004 cenderung mengalami penurunan. Harga minyak yang pada tahun 2003 naik sekitar 14,2%, pada tahun 2004 justru diperkirakan turun sebesar 10,5%. Penurunan harga minyak ini akan mempunyai pengaruh terhadap ongkos industri. Ongkos produksi akan bisa lebih ditekan, sehingga harga komoditi non migas diperkirakan akan naik hanya sekitar 2,4%; lebih rendah dibanding kenaikan tahun 2003, sebesar 5%.

Penurunan tingkat harga komoditi nonmigas tersebut, berdampak pada penurunan tingkat inflasi dunia. Tingkat inflasi dunia diperkirakan mencapai 1,3%, lebih rendah dari tahun 2003 sebesar 1,8%. Penurunan tingkat inflasi dunia ini diharapkan akan dapat mengurangi gejolak valatilitas mata uang dunia, setidaknya akan dapat mengurangi dampak dari gejolak yang disebabkan oleh penurunan mata uang dolar AS beberapa waktu yang lalu. Namun demikian harga komoditi ini tetap saja dipengaruhi oleh perkembangan politik, khususnya di Timur Tengah, factor siklis dan supply shock.

Tingkat bunga di pasar internasional diperkirakan akan mengalami kenaikan. Berdasarkan pasar uang internasional London (LIBOR), tingkat bunga deposito dolar AS akan naik dari 1,3% menjadi 2%, deposito Euro akan naik dari 2,2% menjadi 2,4%, dan Yen Jepang naik dari 0,1% menjadi 0,2%. Kenaikan tingkat bunga ini diperkirakan akan memengaruhi peningkatan biaya di pasar uang.

Perkembangan ekonomi dunia tersebut sangat dipengaruhi juga oleh tren yang terjadi pada perkembangan ekonomi antar negara. Karena itu sangat penting untuk kita ketahui bagaimana tren perkembangan kekuatan-kekuatan ekonomi antar negara, atau negara-negara yang secara individual sangat berpengaruh pada perekonomian dunia.

Pemulihan di negara-negara tersebut masih akan tetap berlanjut, dan AS tetap menjadi penggeraknya. Beruntung perang Irak tidak makan waktu banyak, sehingga ekonomi AS bisa segera pulih. Walaupun tingkat pengangguran meningkat, akan tetapi kepercayaan konsumen dan dunia bisnis meningkat, dan hal ini tercermin dari tingkat inflasi yang mencapai kurang dari 2%.

Pertumbuhan Ekonomi

Dengan tingkat inflasi yang rendah dan tingkat bunga rendah, permintaan dalam properti tetap menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi AS. Namun demikian, ekonomi AS bukan tanpa menanggung masalah. AS terancam oleh defisit kembar sebagaimana yang ia hadapi pada tahun 80-an. Defisit APBN AS pada tahun 2003 ini mencapai sekitar 6% GDP AS. Walau AS dihadapkan pada defisit, tetapi ekonomi AS akan tetap tumbuh karena pertumbuhan produktivitas tenaga kerja mereka terus berlanjut. Karena itu pada tahun 2004 ini, AS diperkirakan akan tetap prudent dalam kebijakan fiskalnya, dan hutang pemerintahnya akan menurun. Penguatan ekonomi AS ini yang tetap menjadi jaminan optimisme pemulihan ekonomi dunia 2004 nanti.

Kekuatan ekonomi Asia yang lain, tidak ayal lagi adalah Jepang. Menurut World Economic Outlook (IMF, Oktober 2003), pada tahun 2004 pertumbuhan ekonomi Jepang sebesar 1,4% lebih rendah dari perkiraan pertumbuhan tahun 2003 mencapai 2%.

Namun dalam dua tahun terakhir ini, Jepang selalu mengalami deflasi. Tahun 2004 Jepang diperkirakan masih akan mengalami deflasi 0,6%. Sementara tingkat pengangguran masih akan sebesar 5,4%. Problem yang dihadapi Jepang saat ini adalah mengurangi tingkat deflasi melalui peningkatan domestic demand. Sebab, sektor ritel masih menurun dan investasi masih lesu, walaupun sejak Juli ekspor cenderung menguat dan produksi sektor industri juga meningkat. Di sektor finansial, potensi jatuhnya harga obligasi masih akan menjadi sebab lemahnya investasi.

Sementara itu optimisme perbaikan ekonomi bagi Indonesia sesungguhnya ada. Indikator-indikator ekonomi makro menunjukkan hal itu. Tingkat inflasi selain stabil juga rendah. Tahun 2003 ini tingkat inflasi diperkirakan sebesar 6,6% dan akan turun lagi pada tahun 2004 menjadi 5,4%. Ini adalah sangat luar biasa. Transaksi berjalan juga surplus sebesar 2,7% dari GDP (2003) dan 1,9% (2004). Pertumbuhan ekonomi walaupun masih rendah juga diperkirakan meningkat dari 3,5% pada tahun 2003 menjadi 4% 2004. Walaupun demikian, beban ekonomi makro Indonesia masih relatif berat. APBN Indonesia tahun 2004 diperkirakan masih akan defisit sebesar 1,1% GDP. Hal ini antara lain merupakan konsekuensi atas keputusan Indonesia untuk tidak meneruskan lagi kerjasama dengan IMF. Konsekuensi lebih lanjut, karena tidak lagi dapat memanfaatkan fasilitas rescheduling utang luar negeri, penerimaan pajak harus digenjot. Problem fiskal inilah salah satu masalah terberat Indonesia saat ini.

Di sektor keuangan dan perbankan, masalah yang masih menghantui Indonesia adalah lemahnya proses intermediasi. Lambatnya proses intermediasi ini merupakan indikator masih belum pulihnya sektor riil Indonesia setelah dihantam krisis yang berkepanjangan.

Dengan demikian problem yang lebih serius dalam perekonomian Indonesia saat ini adalah pada sektor riil dan aspek struktural industri. Karena itu merevisi kebijakan dan mekanisme sektor industri merupakan langkah strategis meningkatkan daya saing produk Indonesia. (82)

Teman DiskusiSkripsi.com


 

Free Affiliasi Program