Terima Kasih....


Email anda akan segera kami tanggapi


Info selengkapnya 085-747-868-717 (call/sms)
Baca Selengkapnya...

TINJAUAN TEGANGAN LEKAT BAJA TULANGAN ULIR DENGAN BERBAGAI VARIASI DIAMETER DAN PANJANG PENYALURAN DENGAN BAHAN PEREKAT SIKADUR® 31 CF NORMAL TERHADAP

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beton adalah salah satu bahan konstruksi yang sangat populer digunakan hingga saat ini, baik pada bangunan yang bersifat struktural maupun pada bangunan yang non struktural. Sebagai bahan bangunan beton mempunyai berbagai kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain bahan bakunya relatif mudah untuk didapat, mempunyai kuat tekan yang tinggi, tidak memerlukan perawatan menerus setelah beton mengeras, dapat di bentuk sesuai dengan keinginan, tahan terhadap perubahan cuaca, tahan terhadap kebakaran, beton segar juga dapat digunakan untuk memperbaiki permukaan beton lama yang retak dengan cara disemprotkan. Disamping kelebihan tersebut beton juga mempunyai kekurangan terutama karena sifatnya yang getas dan tidak mampu menahan tarik. Ketidakmampuan beton menerima tegangan tarik dapat diatasi dengan cara menambahkan baja tulangan, sehingga tersusun pembagian tugas, dimana batang tulangan menerima gaya tarik, sedangkan beton hanya diperhitungkan untuk menahan gaya desak. Kombinasi beton dengan baja tulangan disebut sebagai beton bertulang.
Salah satu persyaratan dalam struktur beton bertulang adalah adanya lekatan antara baja tulangan dan beton, sehingga ketika pada struktur beton tersebut diberikan beban tidak akan terjadi selip antara baja tulangan dan beton. Diameter dan panjang penyaluran tulangan sangat berpengaruh pada kelekatan beton dan tulangan. Keruntuhan suatu struktur dapat disebabkan salah satunya karena kurangnya lekatan antar tulangan dengan beton. Untuk itu perlu diperhatikan kuat lekat antara beton dan baja tulangan agar diperoleh keseimbangan gaya antara baja tulangan dan beton. Tegangan lekat pada beton bertulang yang besarnya dapat dihitung berdasarkan gaya persatuan luas nominal baja tulangan yang diselimuti oleh beton.
2
Banyaknya struktur bangunan dari beton bertulang banyak menimbulkan masalah tersendiri apabila terjadi hal-hal di luar perencanaan awal, misalnya perubahan fungsi bangunan. Apabila struktur bangunan yang mengalami perubahan fungsi bangunan tersebut diinginkan tetap dapat digunakan tanpa adanya pembongkaran, maka salah satu jalan penyelesaiannya adalah dengan melakukan perkuatan terhadap struktur bangunan tersebut. Salah satu caranya adalah dengan penambahan tulangan atau dimensi elemen struktur tersebut. Penambahan tulangan tersebut dapat dilakukan dengan penanaman baja tulangan pada beton. Ini dilakukan dengan cara melubangi beton kemudian memasukkan tulangan kedalamnya dan penambahan zat perekat agar terjadi kelekatan antara tulangan dengan beton.
Pada bangunan gedung, dinding disyaratkan harus memiliki tautan/ikatan antara dinding dengan kolom-kolom. Ini dimaksudkan agar dinding tidak berdiri sendiri, sehingga ketika terkena gempa dinding tidak lepas dari kolomnya. Pengikatan antara dinding dengan kolom tersebut dilakukan dengan cara memberikan stek-stek tulangan yang keluar pada sisi kolom yang akan dipasang dinding. Pembuatan stek-stek tulangan ini dilakukan sebelum kolom dicor dan menjadi keras. Keterlupaan atau kesengajaan untuk tidak membuat stek-stek tulangan pada saat penulangan kolom, maka diharuskan membuat stek-stek tulangan pada kolom setelah kolom dicor dan menjadi keras. Ini dilakukan dengan cara mengebor dinding kolom dan memasukkan tulangan ke dalamnya dengan penambahan bahan perekat.
Baja tulangan terdiri dari dua macam bentuk permukaannya yaitu baja tulangan polos dan baja tulangan ulir (deformed) yang digunakan untuk konstruksi bangunan. Baja tulangan ulir (deformed) mempunyai kuat lekat lebih baik dari pada baja tulangan polos, karena baja tulangan ulir memiliki bentuk permukaan yang tidak rata (adanya tonjolan) terhadap beton yang berfungsi sebagai penahan selip antar baja tulangan dengan beton.
Penelitian ini mencoba untuk mencari kekuatan lekat antara baja tulangan ulir (deformed) dengan cara melubangi beton dan menambahkan zat epoxy sebagai bahan perekatnya.
3
1.2 Rumusan Masalah
Kuat lekat antara baja tulangan dengan beton dipengaruhi oleh diameter dan panjang penyaluran tulangan. Hal yang akan menjadi kajian penelitian ini yaitu seberapa jauh pengaruh diameter tulangan ulir (deformed) dan panjang penyaluran dengan penambahan zat perekat Epoxy tersebut terhadap kuat lekat dengan beton normal.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perilaku kelekatan tulangan baja ulir (deformed) dan beton normal dengan penambahan zat perekat Epoxy yang berhubungan dengan beban hingga baja mencapai luluh.
2. Mengetahui pengaruh panjang penyaluran baja tulangan ulir (deformed) terhadap kuat lekat dengan penambahan zat perekat Epoxy.
3. Mengetahui pengaruh diameter baja tulangan ulir (deformed) terhadap kuat lekat dengan penambahan zat perekat Epoxy.
4. Mengetahui pola kegagalan lekatan yang terjadi yaitu kegagalan antara beton dengan zat perekat Epoxy atau zat perekat Epoxy dengan tulangan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
1 Memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi beton bertulang.
2 Menambah pengetahuan tentang beton bertulang dalam struktur.
3 Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan struktur beton bertulang agar lebih aman, ekonomis dan efisien.
4
1.4.2 Manfaat Praktis
Diperoleh informasi atau masukkan tentang kuat lekat antara beton dan baja tulangan ulir (deformed) penambahan bahan perekat epoxy dengan berbagai variasi panjang penyaluran dan diameter tulangan.
1.5 Batasan Masalah
Agar penelitian ini tidak terlalu luas dan lebih terarah, maka diadakan batasan-batasan permasalahan sebagai berikut:
1. Beton yang digunakan adalah beton normal dengan kuat tekan beton (f’c) = 25 MPa.
2. Besarnya nilai slump yang direncanakan ± 10 cm.
3. Portland Cement yang dipergunakan adalah semen serbaguna (jenis I) dengan merk Holcim kemasan 50 Kg.
4. Agregat halus (pasir) yang berasal dari Kali Boyong Merapi, Kaliurang, untuk agregat yang lolos saringan 5 mm sebagai agregat halus (pasir), sedangkan agregat yang tertahan saringan 5 mm dianggap sebagai agregat kasar (kerikil). Agregat yang digunakan dalam penelitian ini dalam keadaan jenuh kering permukaan (saturated surface dry)
5. Air yang dipergunakan berasal dari laboratorium Bahan Konstruksi Teknik Universitas Islam Indonesia.
6. Menggunakan baja tulangan ulir (deformed) dengan diameter 10 mm, 13 mm, 16 mm.
7. Menggunakan baja tulangan polos dengan diameter 12 mm sebagai perbandingan.
8. Panjang penyaluran tulangan sebesar 100 mm, 150 mm, 200 mm.
9. Ukuran lubang pada beton lebih besar 4 mm dari diameter tulangan yang akan dimasukkan ke dalam lubang agar zat perekat Epoxy dapat di masukkan pada sekeliling lubang yang telah di masukkan tulangan.
5
10. Zat perekat epoxy yang digunakan adalah merk Sikadur® 31 CF Normal produksi PT Sika Indonesia.
11. Pengujian tegangan lekat dilakukan setelah 3 hari pemberian zat epoxy Sikadur 31 CF Normal.
12. Pengujian tegangan lekat menggunakan Universal Testing Machine ( UTM )
13. Jumlah benda uji sebanyak 33 buah untuk pengujian tegangan lekat, masing-masing sampel dibuat 3 buah benda uji, untuk pengujian kuat desak beton sebanyak 3 buah benda uji.




File Selengkapnya.....


Baca Selengkapnya...

Tempat Penyimpanan & Kandugan Logam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Daging sapi merupakan salah satu jenis daging yang di konsumsi oleh manusia, misalnya daging sapi dalam kaleng. Akan tetapi masyarakat belum tahu berapa besar kontaminasi logam berat dalam makanan tersebut. Data mengenai kontaminasi logam berat dalam makanan masih sedikit, oleh karena itu data kandungan logam berat dari hasil penelitian ini mungkin dapat digunakan sebagai informasi bagi instansi yang berwenang mengenai masalah tersebut ( Suwirna. S., dkk, 1981).
Daging kornet semakin menjadi pilihan bagi banyak orang. Produk olahan daging ini juga cepat dan mudah diolah. Sebagai makanan yang digemari masyarakat, corned beef ada kemungkinan mengandung logam-logam berbahaya seperti seng dan timbal, dan kaleng yang tersusun dari logam Sn, Fe dan Pb mempunyai daya tahan terhadap korosi terbatas. Logam-logam tersebut mudah bereaksi dengan asam sehingga pada keasaman (pH) tertentu dan lama penyimpanan yang tertentu pula, akan terjadi pencemaran terhadap corned beef.
Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini tidak dapat didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh manusia lewat makanan, air minum, atau melalui udara. Logam-logam berat seperti seng dibutuhkan tubuh manusia untuk membantu kinerja metabolisme tubuh. Logam-logam tersebut berpotensi menjadi racun jika konsentrasi dalam tubuh tinggi. Logam berat menjadi berbahaya disebabkan sistem bioakumulasi. Bioakumulasi berarti peningkatan konsentrasi unsur kimia tersebut dalam tubuh makhluk hidup sesuai piramida makanan. Akumulasi atau peningkatan konsentrasi logam berat di alam mengakibatkan konsentrasi logam berat di tubuh manusia adalah tertinggi. Jumlah yang terakumulasi setara dengan jumlah logam berat yang tersimpan dalam tubuh di tambah jumlah yang di ambil dari makanan, minuman, atau udara yang terhirup. Jumlah logam berat yang terakumulasi lebih cepat dibandingkan dengan jumlah yang terekskresi dan terdegradasi.
Manusia bukan hanya bisa menderita karena menghirup udara yang tercemar, tetapi juga akibat mengasup makanan yang tercemar logam berat, seperti daging kaleng di mana ternak yang makan rumput yang sudah mengandung logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Lingkungan sekarang ini telah tercemar oleh limbah-limbah pabrik yang mengalir ke sungai atau selokan, ke rumput-rumput yang menjadi tempat makanan dan minumannya tercemar sehingga masuk kedalam tubuh hewan tersebut, kemudian daging hewan tersebut di konsumsi oleh manusia. Tetapi kontaminasi daging kaleng bukan hanya dari daging saja, kemungkinan juga dari tempat atau wadah yang dipakai. Sehingga manusia yang mengkonsumsinya dapat mengakibatkan keracunan (Anonim, 2005).
Makanan maupun minuman kaleng biasanya ditempatkan pada suatu wadah yang dipakai untuk dapat memperpanjang umur makanan tersebut. Biasanya tempat yang digunakan adalah kaleng, akan tetapi makanan kaleng dapat menyerap logam dari wadahnya baik timah dan besi dari pelat timah, serta timah dan timbal dari patrian. Pada makanan yang bersifat asam dan dikalengkan tanpa oksigen, timah menjadi anoda dalam pasangan timah-besi. Timah pada kondisi ini larut dengan laju sangat rendah dan dapat melindungi produk selama dua tahun atau lebih (Deman, 1997).
M Arifin, (2006) telah melakukan penelitian terhadap sapi yang digembalakan di TPA Jatibarang, Semarang, menemukan dalam hati sapi yang dijadikan sampel terkandung 2,48 parts per milion (ppm) unsur timbal (Pb), dan 0,02 ppm unsur merkuri (Hg). Maximum residu limit (MRL) yang ditetapkan Departemen Kesehatan adalah 2,00 ppm untuk timbal dan 0,03 ppm untuk merkuri. Kandungan logam berat bisa menyebabkan perubahan genetika apabila terakumulasi terus-menerus. Untuk bagian has, kandungan timbal juga tinggi, mencapai 0,19 ppm. Dalam jumlah yang lebih kecil, kandungan logam berat juga terdeteksi pada daging bagian paha dan usus sapi (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/27/humaniora/2983493.htm).
Kontaminasi timbal dan kadmium dalam makanan dapat terjadi melalui makanan dalam kaleng yang sambungannya masih dipatri dengan timbal, pewarna tekstil yang digunakan sebagai pewarna makanan serta makanan yang tercemari oleh udara dan air yang telah tercemar oleh gas dan debu knalpot kenderaan bermotor. Makanan yang tinggi kadar timbalnya antara lain makanan yang dikemas dalam kaleng, kerang-kerangan dan sayur-sayuran yang ditanam di dekat jalan raya. Akibat pencemaran timbal dan kadmium pada lingkungan dapat menyebabkan makanan yang kita konsumsi, air yang kita minum dan udara yang kita hirup kemungkinan telah terkontaminasi dengan timbal dan kadmium. Residu logam-logam berat di dalam tubuh bersifat kumulatif dan dapat mengganggu sistem darah dan urat syaraf serta kerja ginjal. Timbal mempunyai arti penting dalam dunia kesehatan bukan karena penggunaan terapinya melainkan lebih disebabkan karena sifat racun dan telah terbukti membahayakan kesehatan manusia jika tertelan atau terhirup dalam jumlah kumulatif yang relatif kecil (Supriyanto.C.,dkk, 1999).
Manusia membutuhkan sekitar 2 gram seng perharinya, dalam tubuh, seng sangat essensial bagi enzim, selain itu juga berfungsi membantu pertumbuhan (Olson, 1988). Seng juga membantu dalam penyembuhan luka dan diperkirakan seng diperlukan juga untuk mobilisasi vitamin A dari tempat penyimpanan hati (William and Caliendo, 1984). (Olonso, 1988). Seng ini terdapat pada : produk susu, daging sapi, daging ayam, ikan, roti,dan lain-lain (Anonim, 2007).
Dalam penelitian ini akan ditentukan analisis logam-logam berat Pb, Zn dan Sn dalam daging kornet kemasan kaleng secara Spektrofotometri Serapan Atom.



1.2 Perumusan Masalah
a) Apakah ada pengaruh tempat penyimpanan terhadap besarnya kandungan logam Pb, Zn dan Sn dalam daging kornet kemasan kaleng yang di peroleh dari Toko kelontongan dan Supermarket?
b) Bagaimana perbandingan hasil kandungan logam Pb, Zn dan Sn yang diperoleh penelitian dengan yang ditetapkan oleh SK. Dirjen BPOM No.03725/B/SK/VII/89 tentang batas maksimum cemaran logam dalam makanan?

1.3 Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui adanya pengaruh tempat penyimpanan terhadap besarnya kandungan logam Pb, Zn dan Sn dalam daging kornet kemasan kaleng yang diperoleh dari toko kelontongan dan Supermarket.
b) Untuk mengetahui perbandingan antara logam Pb, Zn, dan Sn hasil analisis dengan SK. Dirjen BPOM No.03725/B/SK/VII/89 tentang batas maksimum cemaran logam dalam makanan.

1.4 Manfaat Penelitian
a) Memberikan informasi untuk tindakan pemantauan tentang kondisi makanan kaleng di Indonesia.
b) Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kandungan logam Sn, Zn, dan Pb dalam daging kornet kemasan kaleng serta bahaya yang dapat di timbulkan sehingga dapat terhindar dari keracunan logam berat.


Free download Klik Disini
Baca Selengkapnya...

SOLIDIFIKASI LIMBAH ALUMINA dan SAND BLASTING PT.PERTAMINA UP IV CILACAP SEBAGAI CAMPURAN BAHAN PEMBUAT KERAMIK

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limbah sering menjadi permasalahan bagi industri-industri yang dalam
proses produksinya menghasilkan limbah. Apalagi limbah yang dihasilkan
termasuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3). Menurut PP
18/1999 jo PP85/1999 tentang pengelolaan limbah B3, pengertian limbah B3
adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang
karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Selama
ini pengananan limbah B3 diserahkan kepada PT. Persada Pamunah Limbah
Industri (PPLI) yang membutuhkan biaya cukup besar. Untuk meminimalisasi
biaya yang disebabkan oleh penanganan limbah ini, alangkah lebih baik jika
limbah ini dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih berguna sehingga lebih
efektif dan bernilai ekonomi.
Pada PT. Pertamina (PERSERO) UP IV Cilacap permasalahan limbah
activated alumina yang termasuk salah satu jenis limbah B3 serta kelimpahan
limbah sand blasting yang cukup besar saat ini tengah mengemuka. Potensi
limbah activated alumina dan sand blasting cukup besar khususnya diberbagai
PT.Pertamina di seluruh Indonesia. Sehubungan dengan meningkatya jumlah
produksi produk PT.Pertamina di Indonesia, maka jumlah limbah activated
alumina dan sand blasting juga akan meningkat. Activated Alumina adalah suatu
bahan berbentuk bulat-bulat kecil, berwarna putih dengan unsur utama alumina
dan silica yang dipergunakan dalam proses pengolahan minyak bumi di PT.
Pertamina (PERSERO) UP IV Cilacap yaitu pada proses filter air pada unit
Paraxylene. Pada keadaan jenuh activated alumina ini akan dikeluarkan berupa
limbah, yang setiap harinya mencapai ± 13427,6 kg/hari atau 62 drum/hari dari
Spent Clay Kilang Paraxylene. Sand blasting merupakan suatu bahan berbentuk
seperti pasir pantai/pasir kuarsa, berwarna putih krem dengan unsur utama silica.
Sand Blasting dimanfaatkan untuk proses pembersihan kerak pada dinding kilang
minyak PT. Pertamina (PERSERO) UP IV Cilacap. Pada keadaan jenuh sand
blasting akan dikeluarkan berupa limbah. Karena kelimpahan limbah activated
alumina dan sand blasting cukup besar, maka akan lebih baik jika limbah tersebut
dapat dimanfaatkan (recycle dan reuse) sehingga dapat memberikan nilai tambah
(added value) pada limbah-limbah tersebut dan nilai ekonominya juga akan
meningkat, dengan kata lain PT. Pertamina (PERSERO) UP IV akan diuntungkan
dan kualitas lingkungan di Indonesia akan semakin meningkat.
Limbah activated alumina dan sand blasting berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai produk bahan bangunan seperti: keramik, genteng, batu
bata, panel board, pavling blok.
Namun pemanfaatan daur ulang tersebut harus hati-hati karena di
dalamnya terkandung kadar logam berat yang bila terhisap atau terkonsumsi oleh
makhluk hidup dapat membahayakan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 85
Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah B3, limbah katalis berupa activated
alumina termasuk ke dalam daftar limbah B3, sedangkan limbah sand blasting
bukan termasuk ke dalam daftar limbah B3. Limbah yang dikategorikan B3
adalah limbah yang bila memiliki nilai LD50 (Lethal Dose 50%) lebih kecil dari
15 g/kg BB. Namun dari hasil analisa Balai Riset dan Standardisasi Industri dan
Perdagangan Semarang melalui pembuktian secara ilmiah dari hasil uji
toksikologi TCLP ternyata limbah activated alumina dan sand blasting
mempunyai nilai leachate dibawah ambang batas sehingga dapat dikategorikan
sebagai limbah padat bukan B3, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan hidrolis
untuk bahan bangunan (pavling blok, keramik, genteng, dan lain-lain ), namun
dalam penyimpanannya harus mengikuti aturan tertentu dan tidak diperbolehkan
dibuang sembarangan. Dengan adanya penelitian tersebut telah dicapai hasil
bahwa limbah padat activated alumina dan sand blasting dapat dikelola atau
dimanfaatkan sesuai Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999 tantang
pengelolaan limbah B3 yang diikuti penjelasannya pada Peraturan Pemerintah
No.85 Tahun 1999.
Limbah activated alumina dan sand blasting dapat dimanfaatkan sebagai
bahan campuran dalam pembuatan keramik dengan metode solidifikasi. Dari hasil
penelitian terdahulu dengan memanfaatkan limbah katalis didapat tingkat
immobilisasi logam berat (leachate) pada keramik cukup tinggi dengan tingkat
immobilisasi mencapai 99-100%. Untuk sifat fisik yang dihasilkan ternyata cukup
baik. Hal ini dibuktikan dengan nilai keausan antara 0,0299 gr/cm2 hingga 0,0443
gr/cm2, nilai yang cukup baik karena berada diatas keramik pembanding. Dengan
kata lain, keramik hasil solidifikasi limbah cukup kuat, logam berat yang terlepas
cukup kecil sehingga aman digunakan atau ramah lingkungan. Hal ini menjadikan
keramik sangat cocok digunakan untuk imobilisasi logam berat pada limbah dan
untuk mengatasi kelimpahan limbah (Hidayat, 2006).
Berdasarkan penelitian yang telah diuraikan diatas untuk mengatasi
permasalahan limbah activated alumina dan sand blasting, maka kedua limbah
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran dalam pembuatan keramik.
Hal ini dimungkinkan karena untuk pembuatan keramik, hanya diperlukan tanah
liat yang bersifat plastis, samot sebagai filler, kaolin yang bersifat tidak plastis
sebagai penguat, dan feldspar sebagai penambah suhu bakar. Sedangkan limbah
activated alumina yang bersifat tidak plastis dan tahan api (refractory) dapat
sebagai pengganti kaolin serta sand blasting yang berbentuk seperti pasir kursa
dapat sebagai filler, diharapkan kedua limbah tersebut mengandung unsur oksida
diantaranya: SiO2, Al2O3, CaO, dan Fe2O3 yang dapat membentuk ikatan keramik
dan memberikan kontribusi kuat keramik pada bahan keramik. Untuk itu perlu
diteliti komposisi campuran limbah yang tepat dalam pembuatan keramik agar
diperoleh hasil yang baik. Dengan teknologi keramik, yaitu pemadatan dengan
menggunakan bahan pengikat (tanah liat) diharapkan limbah activated alumina
dan sand blasting yang mengandung unsur-unsur logam berat dapat terikat dan
tidak tersebar sehingga mengurangi pencemaran lingkungan.
1.2 Rumusan Masalah
Limbah activated alumina memiliki unsur Al2O3 sedangkan sand blasting
memiliki bentuk seperti pasir kuarsa dan unsur SiO2 yang sangat baik untuk
campuran keramik. Untuk limbah activated alumina jika dipakai sebagai
campuran keramik bisa meningkatkan suhu bakar keramik hingga suhu 20000C,
hal ini dikarenakan alumina memiliki sifat tahan panas. Kehalusan limbah
alumina dan sand blasting juga berpengaruh, semakin halus akan semakin bagus
ikatan antar partikel dan tahan lingkungan yang lembab.
Selama ini limbah activated alumina dan sand blasting tidak dimanfaatkan,
limbah activated alumina hanya dikirim ke PPLI sedangkan kelimpahan limbah
sand blasting cukup besar yang hanya ditimbun begitu saja disuatu lahan PT.
Pertamina (PERSERO) UP IV Cilacap sehingga memiliki potensi mencemari
lingkungan. Oleh sebab itu melalui penelitian ini diharapkan dalam jangka pendek
dan panjang limbah activated alumina dan sand blasting dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk industri khususnya industri keramik yang memiliki
karakteristik mekanik yaitu nilai keausan yang rendah serta ramah lingkungan
(eco-friendly) dan berkelanjutan (sustainable/renewable) dengan harga ekonomis
sehingga dapat memberikan nilai tambah (added value) pada limbah-limbah
tersebut dan nilai ekonominya juga akan meningkat, dengan kata lain PT.
Pertamina (PERSERO) UP IV Cilacap akan diuntungkan dan kualitas lingkungan
di Indonesia akan semakin meningkat.
Secara garis besar rumusan masalah yang akan dicarikan solusinya sebagai
target keberhasilan dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah limbah activated alumina dan sand blasting yang dimanfaatkan untuk
pembuatan keramik dapat immobilisasi logam-logam berat ?
b. Dengan melakukan uji TCLP berapa konsentrasi unsur-unsur logam berat
pada limbah activated alumina dan sand blasting yang terlepas setelah dibuat
keramik ?
c. Apakah limbah activated alumina dan sand blasting yang dimanfaatkan untuk
pembuatan keramik memiliki nilai keausan yang rendah ?
d. Berapa penambahan optimal komposisi limbah activated alumina dan sand
blasting terhadap kualitas keramik yang dihasilkan sebagai rekomendasi untuk
produksi keramik dengan karakteristik nilai keausan rendah ?
e. Bagaimana perbandingan nilai biaya produksi yang dikeluarkan untuk
pembuatan keramik dengan menggunakan campuran limbah activated alumina
dan sand blasting dibandingkan dengan keramik biasa ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka dapat dirumuskan tujuan dari
dilaksanakannya penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui keramik yang dibentuk dari limbah activated alumina dan
sand blasting dapat mengimobilisasi logam-logam berat.
b. Untuk mengetahui konsentrasi unsur-unsur logam berat pada limbah activated
alumina dan sand blasting yang terlepas setelah dibuat keramik.
c. Untuk mengetahui sifat fisik keramik, terutama nilai keausan yang dihasilkan
dari keramik yang dibentuk dari limbah activated alumina dan sand blasting.
d. Untuk mengetahui penambahan optimal komposisi limbah activated alumina
dan sand blasting terhadap kualitas keramik yang dihasilkan sebagai
rekomendasi untuk produksi keramik dengan karakteristik keausan rendah.
e. Untuk mengetahui perbandingan nilai biaya produksi yang dikeluarkan untuk
pembuatan keramik dengan menggunakan campuran limbah activated alumina
dan sand blasting dibandingkan dengan keramik biasa.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan kelimpahan limbah sand blasting dan activated alumina yang
besar dan belum optimal pemanfaatannya dapat berpotensi sebagai alternatif
bahan pembentuk untuk produksi keramik dengan keausan rendah dan diharapkan
ramah lingkungan (eco-friendly). Makin meningkatnya industri-industri keramik
menyebabkan bahan baku untuk pembuatan keramik meningkat. Bahan baku
tersebut diantaranya kaolin, tanah liat, dan feldspar yang berasal dari sumber daya
alam, dimana jika sumber daya tersebut dipakai secara terus menerus maka akan
habis dan dampaknya dapat merusak keseimbangan lingkungan hidup. Yang
menjadi permasalahan adalah bagaimana kita dapat menggantikan bahan-bahan
tersebut dengan harga yang relatif lebih murah tanpa mengurangi mutu dari
keramik yang dihasilkan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, secara khusus
melalui penelitian ini Peneliti akan meneliti dan mengembangakan pemanfaatan
bahan limbah sebagai bahan pembuatan keramik. Pemanfaatan limbah activated
alumina dan sand blasting dari PT. Pertamina UP IV, Cilacap dalam pembuatan
keramik diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Meningkatakan nilai tambah (added value) bagi limbah activated alumina dan
sand blasting PT. Pertamina UP IV Cilacap, limbah yang awalnya
dikelompokkan dalam Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menjadi Bahan
Bermanfaat dan Beruang (B3).
b. Dapat meminimalkan unsur-unsur logam berat, sehingga mengurangi
pencemaran lingkungan dan memberikan solusi terhadap persolan lingkungan
hidup di Indonesia secara berkelanjutan, environmental sustainable
development.
1.5 Batasan Masalah
Sesuai dengan tujuan penelitian, agar penelitian ini lebih mudah perlu
adanya batasan-batasan sebagai berikut:
a. Proses pengolahan limbah activated alumina dan sand blasting dengan
teknologi keramik untuk unsur-unsur logam berat, dengan kaolin, tanah liat,
samot dan feldspar sebagai bahan mentah keramik.
b. Ukuran butir bahan pembuat keramik, yaitu kaolin, tanah liat, samot dan
feldspar adalah lolos 80 mesh.
c. Benda uji berbentuk keramik batu (Stoneware)

Free download Klik Disini
Baca Selengkapnya...

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN SOSIAL (SOCIAL DISCLOSURE) DALAM LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laporan keuangan merupakan suatu alat yang digunakan oleh manajemen untuk melakukan pertanggungjawaban kinerja ekonomi perusahaan kepada para investor, kreditur, dan pemerintah. Laporan keuangan dapat dikelompokkan dalam pengungkapan yang sifatnya wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan yang sifatnya sukarela (voluntary disclosure), pengungkapan wajib merupakan ketentuan yang harus diikuti oleh setiap perusahaan atau institusi yang berisi tentang hal-hal yang harus dicantumkan dalam laporan keuangan menurut standar yang berlaku. Sedangkan pengungkapan yang bersifat sukarela ini tidak disyaratkan oleh standar, tetapi dianjurkan dan akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan yang melakukannya.
Pusat perhatian perusahaan pada saat ini lebih kepada stockholders dan bondholders, sedangkan pihak lain sering diabaikan. Banyak aksi protes yang dilakukan oleh elemen stakeholders kepada manajemen perusahaan, mereka menuntut keadilan terhadap kebijakan upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan yang diterapkan perusahaan. Di lain pihak banyak masyarakat yang protes atas pencemaran lingkungan akibat limbah atau
2
polusi yang dilepas ke lingkungan, sehingga menyebabkan hubungan yang tidak harmonis antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya. Untuk itu masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya. Sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi.
Perusahaan dituntut untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Sejauh ini perkembangan akuntansi konvensional (mainstream accounting) telah banyak di kritik karena tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas, sehingga muncul konsep akuntansi baru yang disebut sebagai Social Responsibility Accounting (SRA) atau Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial. Tanggungjawab sosial diartikan bahwa perusahaan mempunyai tanggungjawab pada tindakan yang mempengaruhi konsumen, masyarakat, dan lingkungan (Ivancevic, 1992). Selama ini produk akuntansi dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban manajemen kepada pemilik saham, kini paradigma tersebut diperluas menjadi pertanggungjawaban kepada seluruh stakeholders.
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sebagaimana tertulis dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi 1998) paragraph kesembilan secara implisit menyarankan untuk mengungkapkan tanggung jawab akan masalah lingkungan dan sosial.
3
Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.
Pernyataan PSAK di atas merupakan manifestasi kepedulian akuntansi akan masalah-masalah sosial yang merupakan wujud pertanggungjawaban sosial perusahaan . Pertanggungjawaban sosial bukan merupakan fenomena sosial baru, melainkan merupakan akibat dari semakin meningkatnya isu lingkungan di akhir 1980-an (Kumalahadi, 2000).
Beberapa penelitian mengungkapkan adanya pengaruh yang signifikan dalam perusahaan manufaktur, diantaranya adalah pada penelitian Cooke (1992) yang menyebutkan “pengaruh antara size, status listing, dan jenis industri terhadap luas pengungkapan dalam laporan tahunan”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa size, status listing adalah variabel penjelas yang penting, dan perusahaan manufaktur secara signifikan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan nonmanufaktur.
Atas dasar penelitian tersebut, maka penulis ingin mengetahui sejauh mana pengaruh karakteristik perusahaan, yang diantaranya adalah Kepemilikan manajemen, tingkat leverage, ukuran perusahaan, profitabilitas
4
dapat mempengaruhi kuantitas pengungkapan sosial perusahaan manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta (BEJ)
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menguji pengaruh karakteristik perusahaan yang diproksi dalam Kepemilikan manajemen, tingkat leverage, ukuran perusahaan dan profitabilitas terhadap kuantitas pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan manufaktur.
1.3 Rumusan Masalah
Perusahaan manufaktur adalah perusahaan pengolahan barang mentah menjadi barang jadi, perusahaan ini perlu melakukan pengungkapan sukarela (pengungkapan sosial). Karena, perusahaan manufaktur selain dekat dengan investor, kreditor, dan pemerintah, perusahaan juga dekat dengan lingkungan sosial. Maka dari itu perlu adanya pengungkapan sosial dalam prakteknya. Untuk itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah perusahaan manufaktur telah mengungkapkan pengungkapan sosial pada laporan tahunan?
2. Bagaimanakah pengaruh karakteristik pengungkapan sosial pada perusahaan manufaktur?
5
1.4 Batasan Masalah
Penelitian yang penulis lakukan adalah untuk melihat pengungkapan sosial kaitannya dengan karakteristik yang mempengaruhinya.
Penelitian ini dilakukan terhadap laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta selama tahun 2004-2005.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, memberikan modal atau bekal pengetahuan dalam memasuki dunia kerja.
2. Perusahaan, memberikan wacana tentang pentingnya pengungkapan sosial dalam laporan tahunan, terutama perusahaan manufaktur yang ada di Indonesia untuk memperhatikan lingkungan alam di sekitar perusahaan mereka, dalam rangka menjaga alam dan juga untuk mencapai competitive advantage di dunia bisnis.
3. Investor, berguna dalam proses decision making dalam penanaman modalnya.
4. Akademisi, Bisa dijadikan referensi dalam penelitian-penelitian selanjutnya disamping sebagai sarana untuk menambah wawasan.
6
1.6 Sistematika Penulisan
Pada tulisan ini, penulis membagi penulisan menjadi 5 Bab yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan
BAB II LANDASAN TEORI
Pada bab ini menjelaskan tentang tinjauan pustaka yang terkait dengan topik penelitian yang mencakup landasan teori mengenai karakteristik perusahaan dalam kaitannya dengan pengungkapan sosial dalam laporan tahunan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini menjelaskan tentang metode penelitian, mencakup pemilihan sampel, pengumpulan data dan tekhnik analisis yang digunakan dalam pengujian hipotesis.
BAB IV ANALISIS DATA
Pada bab ini menjelaskan tentang analisis terhadap data dan temuan empiris yang diperoleh.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini menjelaskan tentang penutup yang terdiri dari simpulan, keterbatasan dan implikasi bagi penelitian selanjutnya.

Free download Klik Disini
Baca Selengkapnya...

ANALISIS PERBANDINGAN RESIKO DAN TINGKAT PENGEMBALIAN REKSA DANA SYARIAH DAN REKSA DANA KONVENSIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasar Modal (Capital Market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bias diperjual belikan, baik dalam bentuk hutang maupun modal sendiri. Pasar Modal Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berkembang cukup dinamis. Kedinamisan tersebut salah satunya ditandai dengan berkembangnya secara pesat Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) di Pasar Modal Indonesia. Dalam perkembangannya, telah hadir Reksa Dana Syariah yang dimaksudkan untuk memberikan alternatif investasi yang lebih luas terutama para pemodal muslim. Dapat dijadikan catatan bahwa kemunculan Reksa Dana Syariah di Indonesia yang domotori oleh Dana Reksa Syariah terbitan dari PT Danareksa Investment Management tanggal 25 Juni 1997 merupakan cikal bakal kemunculan Pasar Modal Syariah.
Reksa Dana merupakan salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki waktu dan keahlian untuk menghitung resiko atas investasi mereka. Menurut Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 pasal 1 ayat 27 telah diberikan definisi “Reksa Dana adalah suatu wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi”. Dengan kata lain, Reksa Dana merupakan wadah
2
berinvestasi secara kolektif untuk ditempatkan dalam portofolio berdasarkan kebijakan investasi yang ditetapkan oleh fund manajer atau manajer investasi.
Sedangkan Reksa Dana Syariah mengandung pengertian sebagai Reksa Dana yang pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada Syariat Islam. Instrumen investasi yang dipilih dalam portofolionya haruslah yang dikategorikan halal.
Dikatakan halal, jika pihak yang menerbitkan instrumen investasi tersebut tidak melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti tidak melakukan riba, mayisir dan gharar. Jadi saham, obligasi dan sekuritas lainnya yang dikeluarkan perusahaan yang berhubungan dengan produksi atau penjualan minuman keras, rokok, produk mengandung babi, bisnis hiburan berbau maksiat, bisnis senjata, perjudian, pornografi, dan sebagainya tidak dimasukkan ke dalam portofolio Reksa Dana Syariah.
Perbedaan yang paling nampak dari operasional Reksa Dana Syariah dengan Reksa Dana Konvensional adalah proses screening dalam mengkonstruksi portofolio. Filterasi menurut prinsip Syariah akan mengeluarkan saham yang memiliki aktivitas haram. Proses cleansing atau filterasi terkadang juga menjadi cirri tersendiri, yaitu membersihkan pendapatan yang dianggap diperoleh dari kegiatan haram, dengan membersihkannya sebagai charity.
Di Indonesia sekarang ini, proses screening terhadap produk saham yang berprinsip Syariah sudah tidak terlalu sulit lagi, karena sudah ada indeks saham berbasis Syariah yaitu Jakarta Islamic Indeks (JII), yang dapat mempermudah pemilihan saham dan pengukuran kinerja investasi berbasis Syariah. Selain itu
3
Instrumen Pasar Modal Syariah lainnya yang sudah mulai marak adalah Obligasi Syariah, sedangkan pasar uang Syariah sudah lebih dahulu berkembang dipelopori dengan pendirian Bank berbasis Syariah dengan nama Bank Muamalat yang mulai beroperasi sejak tanggal 1 Mei 1992.
Kegiatan investasi yang bernafaskan Islam khususnya Reksa Dana Syariah akan menarik, terutama karena memberi keyakinan bahwa kegiatan investasi juga merupakan sebentuk kegiatan muamalah (keperdataan) dalam Islam. Reksa Dana Syariah ini dapat dijadikan salah satu alternatif masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim untuk ikut serta dalam kegiatan pasar modal dengan cara yang halal, sesuai syariat agama. Mengingat hal tersebut, Indonesia jelas merupakan pasar potensial untuk tumbuhnya investasi yang bersifat islami.
Segencar apapun fatwa disebar luaskan. Pertimbangan keuntungan dan resiko yang akan diterima, tetap menjadi pertimbangan pertama bagi investor untuk menanamkan modalnya. Tidak terkecuali para investor muslim dalam memutuskan untuk berinvestasi pada produk syariah.
Pada kenyataannya, masih banyak keraguan dari kaum awam atau return yang akan diterima dari Reksa Dana Syariah tidak besar atau menguntungkan dibanding Reksa Dana Konvensional. Keraguan tersebut timbul karena ada dugaan kurang optimalnya pengalokasian produk atau portofolio investasi, akibat adanya proses screening yang membatasi investasi portofolionya hanya pada produk yang sesuai dengan Syariat Islam, sedangkan produk-produk Syariah di Indonesia masih terbatas jumlahnya. Dengan jumlah yang masih sedikit tersebut, apakah bisa menghasilkan investasi portofolio yang optimal dan outperform ? Di
4
pihak lain, masyarakat pada umumnya bersikap menghindari resiko (risk averse) terhadap produk-produk baru yang belum terlihat hasil kinerjanya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS PERBANDINGAN RESIKO DAN TINGKAT PENGAMBILAN REKSA DANA SYARIAH DAN REKSA DANA KONVENSIONAL” (Studi Kasus pada Produk Reksa Dana Campuran yang dikelola oleh PT Danareksa Investment Management yaitu ”Reksa Dana Anggrek dan Reksa Dana Syariah Berimbang” periode Januari 2001 sampai dengan Desember 2003).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukan diatas, maka diperlukan perhitungan tingkat pengembalian, resiko dan tingkat pengembalian yang disesuaikan dengan resiko yang benar dan akurat atas kedua Reksa Dana yang diteliti yaitu Reksa Dana Syariah Berimbang dan Reksa Dana Anggrek. Adapun permasalahan perhitungan tersebut meliputi:
1. Berapa resiko dan tingkat pengembalian Reksa Dana Syariah Berimbang dan Reksa Dana Anggrek ?
2. Berapa resiko dan tingkat pengembalian masing-masing pasar yang menjadi tolak ukur Reksa Dana Syariah dan Reksa Dana Anggrek ?
3. Berapa risk adjust performance Reksa Dana Syariah dan Reksa Dana Anggrek ?
5
C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan mengarah pada tujuan dan mempermudah proses pengolahan data, maka perlu ditetapkan batasan-batasan terhadap penelitian yang akan dilakukan. Area pembatasan masalah pada skripsi ini meliputi hal-hal berikut dibawah ini :
1. Reksa Dana yang dijadikan objek penelitian adalah Reksa Dana Syariah Berimbang dan Reksa Dana Anggrek yang dikelola oleh PT. Danareksa Investment Management.
2. Analisa dilakukan dengan menggunakan Nilai Aktiva Bersih (NAB) per unit penyertaan pada masing-masing Reksa Dana, berdasarkan data bulanan pada periode Desember 2000 sampai dengan Desember 2003.
3. Tingkat pengembalian pasar (Rm) yang dipakai sebagai pembanding dalam penelitian adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan untuk Reksa Dana Anggrek serta Jakarta Islamic Indeks (JII) untuk Reksa Dana Syariah Berimbang pada periode Desember 2000 sampai dengan Desember 2003.
4. Tingkat bunga bebas resiko (Risk Free) yang digunakan adalah tingkat suku bunga rata-rata deposito Bank Pemerintah jangka waktu 3 bulan dan rata-rata bonus Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) bulanan pada periode Januari 2001 sampai dengan Desember 2003.
6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
a. Mengetahui perhitungan resiko dan tingkat pengembalian Reksa Dana Syariah Berimbang dab Reksa Dana Anggrek.
b. Mengetahui perhitungan resiko dan tingkat pengembalian masing-masing pasar yang menjadi tolak ukur Reksa Dana Syariah Berimbang dan Reksa Dana Anggrek.
c. Mengetahui hasil pengukuran risk adjust performance dengan metode Sharpe, Treynor dan Jensen pada Reksa Dana Syariah Berimbang dan Reksa Dana Anggrek.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat dijadikan acuan untuk menilai kinerja suatu Reksa Dana dan memberikan gambaran perbandingan hasil kinerja Reksa Dana Syariah dan Reksa Dana Konvensional.
E. Metodologi Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Mengenai lokasi penelitian yang dipergunakan sebagai tempat penulis mengadakan penelitian untuk mendapatkan data dalam penyusunan skripsi ini adalah pada Riset – Biro PIR BAPEPAM, Departemen Keuangan Republik Indonesia lantai 6 yang berlokasi di
7
Gedung Baru Departemen Keuangan RI, jalan Dr. Wahidin Raya Jakarta 10710.
2. Jenis dan Sumber Data
Data utama yang dibutuhkan adalah :
a Nilai Aktiva Bersih (BAB) per unit bulanan.
b Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
c Jakarta Islamic Indeks (JII).
d Suku bunga rata-rata 3 bulanan Bank Pemerintah.
e Bonus Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yakni melalui pihak lain. Data sekunder telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. Data sekunder didapat dari :
a Perpustakaan berupa buku-buku teori yang mendukung perhitungan dan penganalisaan.
b Lembaga-lembaga terkait dengan Pasar Modal seperti Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM).
c Artikel, Buletin dan Majalah yang terkait dengan bahasan.
d Webside.
4. Teknik Analisis Data
a. Teknik Analisa Data Kualitatif
8
Menggambarkan atau menjelaskan (deskriptif) kondisi-kondisi keadaan actual dari unit penelitian berupa angka-angka yang diolah dan didukung oleh tabel.
b. Teknik Analisa Data Kuantitatif
Teknik analisis kuantitatif mengunakan cara-cara atau rumus-rumus eksak yang digunakan untuk menentukan kinerja Reksa Dana dengan Metode Sharpe, Treynor dan Jensen. Rumus-rumus yang digunakan antara lain :
1) Menentukan tingkat pengembalian yang diperoleh (realized return), return ekspektasi serta tingkat resiko varience dan standar deviasi Reksa Dana.
a) Return Realisasi Reksa Dana
Free download Klik Disini
Baca Selengkapnya...

Evaluasi Kerusakan dan Rasio Sisa Kekuatan Struktur Beton Sebagai Dasar Pengambilan Keputusan Untuk Rehabilitasi, Rekonstruksi atau Pembongkaran

BAB I
MASALAH PENELITIAN
1. Latar Belakang Masalah
Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 telah berlalu, namun masih dapat diingat dengan bagaimana
struktur bangunan telah mengalami kerusakan akibat gempa tersebut. Tidak hanya sebatas itu
bekas-bekas kerusakannya sampai sekarang masih ada yang dapat dilihat. Menurut laporan dari
Anonim (2006) bangunan non-teknis yang roboh di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
mencapai lebih dari 88 000 buah sedang kerusakan bangunan teknis mencapai puluhan buah.
Otani (1999) mengatakan bahwa lebih dari 87,6 % korban akibat gempa Kobe 1995 diakibatkan
langsung terkena runtuhan bangunan yang rusak akibat gempa. Sementara itu persoalan yang
sama untuk gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 belum diketahui secara pasti.
Mengingat begitu besarnya persentasi korban akibat keruntuhan bangunan akibat gempa maka
sudah selayaknya pembahasan tentang kerusakan bangunan menjadi sesuatu hal yang sangat
penting. Evaluasi terhadap kerusakan bangunan (post earthquake building evaluation) akibat
gempa mempunyai banyak tujuan dan manfaat. Diantara tujuan-tujuan tersebut, tujuan pertama
adalah untuk mengetahui pola-pola kerusakan bangunan yang telah terjadi yang rusak akibat
gempa. Tujuan yang ketiga adalah untuk mengathui level/derajat kerusakan elemen/struktur yang
telah terjadi. Tujuan yang ketiga adalah untuk mengetahui kekurangan atau kelemahan elemen
atau struktur yang telah mengalami kerusakan. Tujuan yang keempat adalah menentukan sikap
terhadap bangunan yang telah mengalami kerusakan (tanpa perbaikan, perbaikan ringan, berat atau
bahkan harus dirobohkan). Tujuan kelima adalah untuk memperkirakan kerugian financial akibat
kerusakan bangunan yang terjadi sekaligus untuk menentukan polis ansuransi, bantuan dan
sebagiainya. Sedangkan manfaatnya adalah untuk menimbulkan atau membangkitkan kesadaran
tentang perlunya perbaikan disegala hal (bahan, konfigurasi bangunan, sistim dan jenis struktur,
metode analisis, disain, uji laboratorium maupun mutu pelaksanaan) agar hal-hal tersebut tidak
terjadi kembali.
Evaluasi terhadap kerusakan bangunan paska bencana alam dapat dilakukan beberapa tahap.
Evaluasi pada tingkat pertama umumnya dilakukan dengan Metode Rapid Vulnerability
Assessment (RVA) yaitu evaluasi secara cepat tentang kerusakan bangunan yang terjadi. Evaluasi
ini dilakukan segera melalui direct field investigation dan pada umumnya meliputi banyak
Copyright © Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UII Yogyakartarac.uii.ac.id
2
bangunan secara cepat dan bersifat general/umum. Kerusakan bangunan yang ada direkam melalui
beberapa cara yaitu dengan menggunakan check list yang harus diisi berdasarkan visual data.
Cara yang lain untuk memperkuat cara sebelumnya adalah dengan mengambil gambar gambar
bagaian struktur yang rusak melalui foto-foto ataupun rekaman video kamera. Berdasarkan atas
RVA tersebut untuk seterusnya status bangunan dikelompokkan berdasarkan warna-warna.
Bangunan yang hanya mengalami kerusakan sangat ringan dan dapat dipakai setelah gempa terjadi
diberi status warna “Hijau” (green). Bangunan yang mengalami kerusakan sedenikian sehingga
tidak dapat ditempati secara temporer diberi status “Kuning” (yellow). Sedangkan bangunan yang
jelas-jelas tidak dapat digunakan lagi diberikan status “Merah” (red). Untuk bangunan dengan
status “green” dan “red” pada umumnya tidak sangat rumit penentu-annya. Namun demikian
bangunan yang berstatus “kuning” diperlukan suatu evaluasi yang lebih mendalam. Mengingat
RVA hanya didasarkan atas kenanpaan visual, sangat dimungkinkan status bangunan akan
berubah setelah dilakukan evaluasi yang lebih mendalam.
Evaluasi pada tahap berikutnya adalah evaluasi lanjutan atau Specific Vulnerability
Assessment (SVA). Mengingat evaluasi ini sudah agak detail maka evaluasi dilakukan bersifat
individual bangunan (Singh, 2003). Untuk menentukan status bangunan lebih lanjut maka sudah
diperlukan tolok-ukur/indikator-indikator yang sudah pasti yang umumnya sudah ditentukan
didalam Code. Oleh karena itu sudah terdapat teori-teori kwantitatif tentang kerusakan bangunan
atapun dalam bentuk yang lain. Untuk menenetukan keobjektifan level kerusakan yang terjadi
kerusakan bangunan umumnya dikaitkan dengan intensitas gempa yang telah terjadi.
Selanjutnya level terakhir pada proses evaluasi bangunan adalag Advanced/Detailed
Vulnerability Evaluation (DVE). Evaluasi pada tahap ini dilakukan lebih detail lagi dan kaitannya
dengan proses dan metode rekonstruksi/rehabilitasi terhadap bangunan yang akan dilakukan.
Evaluasi ini bersifat komprehensif mulai darai kesatabilan struktur bangunan secara utuh sampai
pada evaluasi kekuatan tiap-tiap elemen baik untuk lentur, geser maupun lekatan (bond stress).
Berdasarkan atas kekautan yang ada dan tuntutan kekuatan yang diperlukan maka metode, jenis
maupun prosedur rekonstruksi/rehabitasi akan dapat ditentukan secara jelas/pasti.
Penelitian atau evaluasi terhadap kerusakan struktur bangunan paska gempa bumi telah
dilakukan oleh banyak peneliti. Dandualaki, Panuotsopoulou dan Iaonides (1998) melakukan
penelitian kerusakan bangunan akibat gempa di Yunani namun baru pada evaluasi kerusakan
bangunan Phase –I. Nakano (2004) secara komprehensif meneliti kerusakan bangunan di Jepang
Copyright © Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UII Yogyakartarac.uii.ac.id
3
baik pada Phase-I dan Phase-II namun belum diikuti dengan analisis inelastic struktur, Elnashi
dkk (2007), Konagai dkk (2007), Boen (2007) telah melakukan evaluasi kerusakan bangunan
akibat gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 namun baru bersifat reconnaissance. Oleh kartena itu
penelitian tentang Evaluasi Kerusakan dan Rasio Sisa Kekuatan Struktur Beton Paska Gempa
Yogyakarta 27 Mei 2006 baik Phase-I, Phase-II dan diteruskan dengan analisis inelastik struktur
bangunan sangat penting untuk dilakukan. Lesson learned yang dapat disimpulkan dari penelitian
ini sangat diperlukan agar kerusakan yang sama tidak terjadi pada gempa yang akan dating. Pada
evaluasi Phase-II terdapat beberapa metode yang dapat dipakai yaitu Rasio Kerusakan ( Damage
Ratio DR) dan Rasio Kekuatan Residu (residual seismic capacity ratio, ) dengan Metode-1 dan
Metode-2.
Penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan dengan beberapa alasan. Beberapa alasan
yang dimaksud yaitu: pertama, kejadian kerusakan bangunan akibat gempa seperti itu sangat
jarang terjadi; kedua, penelitian untuk menentukan keputusan apakah suatu bangunan dapat
direhabilitasi, direkonstruksi atau dibongkar merupakan hal baru yang dilakukan di Indonesia
sehingga belum terdapat dokumentasi ilmiah yang memadai dan ketiga, penelitian ini akan menuju
pada penguatan mata kuliah di tingkat Magister yaitu Evaluasi, Rehabilitasi dan Rekonstruksi
untuk mendapatkan khasanah pemahaman yang lebih komprehensif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang maka beberapa masalah dapat dirumuskan yaitu :
1. Evaluasi kerusakan bangunan paska gempa pada Phase-I adalah mengkombinasikan antara
kerusakan bangunan secara visual dilapangan dengan keterpenuhan syarat-syarat yang harus
dipenuhi didalam Codes (benchmarking). Sejauh mana level-level kerusakan yang telah terjadi
dan faktor-faktor apa yang memicu terjadinya kerusakan serta pelajaran apa yang yang dapat
dipetik (lesson learned) kesemuaannya merupakan masalah pertama yang sangat penting dan
perlu diungkap,
2. Evaluasi bangunan paska gempa bumi pada Phase-II dapat dilakukan melalui kriteria Derajat
Kerusakan (damage degree) maupun Rasio kekuatan Residu (lihat Gambar 1). Hasil evaluasi
kerusakan bangunan di Jepang, keduanya mempunyai hubungan yang terbalik. Oleh karena
itu dimana posisi kerusakan bangunan di Indonesia relatif terhadap bangunan-bangunan di
Jepang dan rekomendasi seperti apa yang dapat diputuskan merupakan persoalan penting
kedua yang ingin dicari,
Copyright © Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UII Yogyakartarac.uii.ac.id
4
3. Perilaku inelastik bangunan paska gempa sangat penting untuk diketahui. Hal ini terjadi karena
telah terjadi simpangan permanen (rusak) pada elemen-elemen bangunan setelah terjadi
gempa. Keputusan seperti apa apakah bangunan perlu direhabilitasi, direkonstruksi atau harus
dibongkar merupakan persoalan penting ke tiga yang akan dicari/diteliti. Hasil tersebut akan
dipakai sebagai bahan verifikasi terhadap keputusan yang telah diambil oleh pemilik
bangunan.
1.3 Tujuan Penelitian
Seiring dengan rumusan masalah sebagaimana disampaikan sebelumnya maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejauh mana level-level kerusakan elemen bangunan yang terjadi
berdasarkan standard yang ada, sejauhmana struktur-struktur bangunan tersebut direncanakan
kaitannya dengan pemenuhannya terhadap Codes yang ada dan pelajaran-pelajaran seperti apa
yang dapat dipetik dari penelitian yang akan dilakukan,
2. Untuk mengetahui damage degree struktur bangunan berdasarkan Codes yang dipakai di luar
Indonesia (Jepang), mengetahui posisi nilai damage degree tersebut terhadap hasil penelitian
di Jepang serta untuk mengetahui rekomendasi-rekomendasi seperti apa terhadap struktur
bangunan yang diteliti,
3. Untuk mengetahui respons inelastik dan untuk menentukan keputusan apakah bangunan akan
dipertahankan atau dibongkar pada kasus gempa Yogyakarta, dengan memakai pemodelan dan
ketentuan Japanese Codes. Respons inelastik didasarkan atas sedekat-dekatnya (most suitable)
percepatan tanah yang terjadi akibat gempa Yogyakarta 27 Mei 2006. Selain itu juga untuk
mengetahui benar atau salahnya keputusan yang telah diambil oleh pemilik bangunan
1.4 Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini lebih banyak berimplikasi pada lesson learned atas kerusakan
bangunan teknis akibat gempa. Oleh karena itu manfaat atas hasil penelitian ini adalah untuk
bahan pertimbangan atau bahan acuan pada disain bangunan tahan gempa dimasa-masa
mendatang. Dengan memperhatikan hasil penelitian ini maka kerusakan bangunan yang serupa
diharapkan tidak terulang kembali, korban manusia dapat berkurang dan bahkan dapat dihindari,
korban harta benda dapat diminimalisir dan diputuskannya metode yang dapat dipakai untuk
menentukan kekuatan sisa bangunan yang rusak akibat gempa.
Copyright © Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UII Yogyakartarac.uii.ac.id
5
1.5 Batasan Masalah
Agar lebih terfokus maka penelitian ini mempunyai batasan :
1. Struktur bangunan yang akan diteliti hanya bangunan teknis struktur beton bertulang biasa,
2. Struktur bangunan yang diteliti tidak meliputi semua bangunan teknis tetapi hanya sampling
terhadap bangunan beton bertulang yang mengalami kerusakan serius.
Copyright © Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UII Yogyakartarac.uii.ac.id

Free download Klik Disini
Baca Selengkapnya...

Preferensi dan Permintaan Masyarakat terhadap Produk – Produk Bank Syariah ( Studi Kasus : Bank BTN Syariah dan Bank BNI Syariah di Yogyakarta )

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan perbankan syariah di Yogyakarta merupakan suatu
perwujudan permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan
alternatif yang menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat dan
memenuhi prinsip–prinsip syariah. Perkembangan sistem keuangan syariah
semakin kuat dengan ditetapkannya dasar – dasar hukum operasional melalui
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang telah dirubah dalam UU No. 10
tahun 1998, UU No. 23 tahun 1999 dan UU No. 9 tahun 2004 tentang Bank
Indonesia.
Sejarah berdirinya perbankan syariah dengan sistem bagi hasil, didasarkan
pada dua alasan utama yaitu : (1) Adanya pandangan bahwa bunga (interes)
pada bank konvensional hukumnya haram karena termasuk dalam kategori riba
yang dilarang oleh agama, bukan saja pada agama Islam tetapi dilarang juga
oleh agama lainnya. (2) Dari aspek ekonomi, penyerahan resiko usaha terhadap
salah satu pihak dinilai melanggar norma keadilan. Dalam jangka panjang
sistem perbankan konvensional akan menyebabkan penumpukkan kekayaan
pada segelintir orang yang memiliki kapital besar (Sjahdeini, S. Remy, 1999).
1
Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada distribusi resiko usaha.
Pada sistem bunga, balas jasa modal ditentukan berdasarkan persentase tertentu
dan resiko sepenuhnya ditanggung oleh salah satu pihak. Untuk hal nasabah
sebagai deposan, resiko sepenuhnya berada pada pihak bank, sebaliknya apabila
nasabah sebagai peminjam, resiko sepenuhnya berada ditangan peminjam.
Sedangkan pada sistem syariah diterapkan sistem bagi hasil dimana jasa atas
modal diperhitungkan berdasarkan keuntungan atau kerugian yang diperoleh
yang didasarkan pada akad. Prinsip utama dari akad adalah keadilan antara
pemberi modal dan pemakai modal. Prinsip ini berlaku baik bagi debitur
maupun kreditur.
Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada
masyarakat dalam bentuk kredit serta jasa – jasa lain dalam pembayaran yang
beroperasi berdasarkan prinsip – prinsip syariah (Heri Sudarsono). Dalam
operasinya bank syariah mengikuti ketentuan – ketentuan syariat Islam yang
menyangkut bermuamalat secara Islam dengan cara menghindari praktik–
praktik yang mengandung unsur riba dengan investasi atas dasar bagi hasil dan
pembiayaan perdagangan. Operasi bank syariah sangat sesuai dengan
pengembangan usaha menengah, karena penggunaan perangkat bagi hasil yang
besar kecilnya ditentukan dengan besar kecilnya hasil usaha yang diperoleh.
Sejak diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan dan UU
No. 7 tahun 1992 yang memberikan peluang lebih besar bagi pengembangan
2
bank syariah, maka perkembangan syariah di Indonesia sangat pesat, seperti
terlihat pada tabel berikut ini :
Free download Klik Disini
Baca Selengkapnya...

Pola Pendidikan Pesantren

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Menurut Nurcholis Madjid, secara histori pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia . Karena, sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Jadi pesantren merupakan hasil penyerapan akulturasi kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang kita kenal sebagai pesantren sekarang ini.
Akar-akar historis keberadaan pesantren di Indonesia dapat di lacak jauh ke belakang, yaitu pada masa-masa awal datangnya Islam di bumi Nusantara ini dan tidak diragukan lagi pesantren intens terlibat dalam proses islamisasi tersebut. Sementara proses islamisasi itu, pesantren dengan canggihnya telah melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam prespektif historis, lahirnya pesantren bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk penyiaran agama Islam. Menurut M. Dawam Raharjo, hal itu menjadi identitas pesantren pada awal pertumbuhannya, yaitu sebagai pusat penyebaran agama Islam, disamping sebagai sebuah lembaga pendidikan .
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencita ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai demensi. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya.
Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya debagai warasat al anbiya. Hal ini terus di pertahankan agar pesantren tidak tercerabut dari akar utamanya yang telah melembaga selama ratusan tahun. Bahwa kemudian muncul tuntutan modernisasi pesantren, sebagai dampak dari modernisasi pendidikan pada umumnya, tentu hal itu merupakan suatu yang wajar sepanjang menyangkut aspek teknis operasional penyelenggaraan pendidikan. Jadi, modernisasi tidak kemudian membuat pesantren terbawa arus sekularisasi karena ternyata pendidikan sekuler yang sekarang ini menjadi tren, dengan balutan pendidikan moderen, tidak mampu menciptakan generasi mandiri. Sebaliknya, pesantren yang dikenal dengan tradisionalnya justru dapat mencetak lulusan yang berkepribadian dan mempunyai kemandirian. Pondok pesantren yang tersebar di pelosok-pelosok kepulauan nusantara, turut pula menyumbangkan darma bakti dalam usaha mulia “character building” bangsa Indonesia.
Adapun pada hari-hari kemarin banyak opini negatip terhadap eksistensi pesantren, bahwa pesantren dinilai tidak responsip terhadap perkembangan zaman, sulit menerima perubahan (pembaharuan), dengan tetap mempertahankan pola pendidikannya yang tradisional (salafiyah) pesantren menjadi semacam institusi yang cenderung ekslusif dan isolatif dari kehidupan sosial umumnya. Bahkan lebih sinis lagi ada yang beranggapan pendidikan pesantren tergantung selera kyai. Masih banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap pesantren. Hal ini muncul karena memang banyak orang tidak mengenal dan tidak mengerti tentang pondok pesantren, sehingga mereka mempunyai penilaian yang salah terhadapnya.

Free download Klik Disini
Baca Selengkapnya...

Studi Tentang Penanaman Modal Asing Di Indonesia periode 1985-2005

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Investasi, dalam konotasi ekonomi makro, sangat di butuhkan untuk
meningkatkan pendapatan nasional. Jika investasi bertambah, sesuai dengan
mekanisme multiplier effect, maka akibatnya pendapatan nasional akan
bertambah. Dengan bertambahnya investasi, maka produsen akan meningkatkan
jumlah kesempatan kerja sehingga jumlah barang dan jasa yang dihasilkan akan
bertambah pula. Pada gilirannya, masyarakat bisa mengkonsumsi barang dan jasa
dalam jumlah lebih banyak. Hal tersebut berarti bahwa tingkat kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat menjadi lebih baik.
Investasi merupakan unsur GDP yang paling sering berubah ketika
pengeluaran atas barang dan jasa turun selama resesi, sebagian besar penurunan
itu berkaitan dengan anjloknya pengeluaran investasi. (N. G. Mankiw, 1999 :
425). Selain itu juga, investasi merupakan langkah awal kegiatan pembangunan
ekonomi. Investasi mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi dan
juga mencerminkan marak lesunya pembangunan-pembangunan ekonomi tidak
akan lepas dari kegiatan investasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
(BUMN),
2
Koperasi maupun swasta yang akan memberikan berbagai keuntungan,
seperti menciptakan lapangan kerja, pemanfaatan sumber daya ekonomi
seoptimal mungkin serta peningkatan mutu sumber daya manusia, dan lain-lain.
Perekonomian suatu negara tidak terlepas dari variabel mikro maupun makro.
Dari sudut pandang variabel makro, variabel tersebut antara lain :
1. Masalah kesempatan kerja.
2. Pertumbuhan ekonomi.
3. Keseimbangan neraca pembayaran.
4. Kestabilan ekonomi.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa variabel makro tersebut, sangat berpengaruh
terhadap kegiatan investasi, baik yang berasal dari Penanaman Modal Dalam
Negeri ( PMDN ), maupun yang berasal dari Penanaman Modal Asing ( PMA ).
Hal ini merupakan suatu yang logis, karena berdasarkan sudut pandang investor,
mereka hanya melakukan investasi yang akan memberikan probabilitas
keuntungan yang paling optimal.
Pada kasus PMA, apabila kinerja dari variabel makro suatu negara tidak
sesuai yang diharapkan, maka investor akan mengalihkan dana investasinya ke
negara lain yang kinerja variabel makronya lebih baik. Penanaman modal
merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dengan posisi semacam itu,
investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan
ekonomi. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya
pertumbuhan ekonomi dan mencerminkan marak lesunya pembangunan.
3
Dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara senantiasa
berusaha menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. sasaran yang
dituju bukan hanya masyarakat atau kalangan swasta dalam negeri, tapi juga
investor asing. ( Dumairy, 1997 ). Di Indonesia, iklim penanaman modal tidak
henti-hentinya dilakukan perbaikkan oleh pemerintah. Di antara perbaikkan
tersebut pemerintah merupakan berbagai paket kebijaksanaan, antara lain
dilakukan penyederhanaan mekanisme perijinan, perlunakan syarat-syarat
investasi serta memotivasi investasi dalam sektor-sektor tertentu dan daerahdaerah
tertentu.
Investasi sangat penting perannya dalam pertumbuhan dan perkembangan
perekonomian Indonesia. Investasi swasta sangat berperan dalam distribusi
tenaga kerja, distribusi pendapatan, pertumbuhan dan kualitas penduduk serta
kemajuan teknologi. Perkembangan kinerja investasi swasta di Indonesia masih
belum seperti yang diharapkan, kontribusi investasi terus mengalami penurunan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi investasi yaitu ketidakpastian hukum
dalam negara. Hal tersebut tercermin pada indikator risk Indonesia yang
meskipun telah membaik namun secara umum belum kembali ke posisi sebelum
krisis ekonomi terjadi. Hal ini dapat terlihat pada tabel Penanaman Modal Asing
(PMA) Indonesia dari tahun 2000 – 2004 sebagai berikut:

Free download Klik Disini
Baca Selengkapnya...

Perjanjian Pemborongan Proyek

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan bangsa Indonesia dalam era globalisasi dilaksanakan secara terpadu dan terencana di segala sektor kehidupan. Pembangunan nasional yang dilaksanakan saat ini adalah pembangunan berkesinambungan secara bertahap guna meneruskan cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahtraan rakyat. Oleh karena itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi rakyat yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka pembangunan nasional dilakukan secara berencana, menyeluruh terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju. Pembangunan nasional Indonesia dilakukan bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama dalam pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengerahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang.
Bentuk nyata dari pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah seperti pembangunan infrastruktur berupa pembangunan gedung-gedung perkantoran maupun sekolahan, pembangunan jalan raya hingga pembangunan sektor pertanian berupa waduk dan saluran irigasinya.
Pelaksanaan dari pembangunan tersebut disamping dilaksanakan oleh pemerintah tetapi juga melibatkan masyarakat dalam hal ini pihak swasta atau pengusaha dan kontraktor atau pemborong. Hubungan kerjasama dalam melaksanakan pembangunan tersebut lazim dilakukan dalam bentuk pemborongan, karena dengan menggunakan sistem pemborongan ini dirasakan akan lebih efektif dan efisien untuk mempercepat dalam mengadakan bangunan yang diperlukan.
Kerjasama antara pemerintah dengan pihak kontraktor atau pemborong dalam pengadaan bangunan, diperlukan adanya perjanjian pemborongan dimana pihak pemerintah bertindak selaku pihak yang memborongkan, sedangkan pihak kontraktor atau pemborong sebagai pihak pelaksana pemborongan. Perjanjian pemborongan lazim dibuat dalam bentuk tertulis yang dituangkan dalam bentuk formulir-formulir tertentu khususnya untuk proyek pemerintah yang disebut dengan perjanjian standard yaitu pelaksanaan perjanjian yang mendasarkan pada berlakunya peraturan standard yang menyangkut segi yuridis dan segi tekhnisnya yang ditunjuk dalam rumusan kontrak. Jadi, pelaksanaan perjanjian pemborongan selain mengindahkan pada ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata juga pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian standard (AV tahun 1941) yang menyangkut segi yuridis dan segi tehknisnya yang ditunjuk dalam rumusan kontrak. Meriam Budiarjo mengatakan bahwa dalam perjanjian pemborongan yang dilakukan dengan pemerintah, pemerintah dapat mengadakan perjanjian yang mempunyai sifat yang diwarnai oleh hukum publik. Perjanjian berorientasi pada kepentingan umum yang bersifat memaksa. Di dalam kontrak tersebut tidak ada kebebasan berkontrak dari masing-masing pihak. Karena syarat-syarat yang terdapat dalam perjanjian telah ditentukan oleh pemrintah berdasarkan syarat-syarat umum dari perjanjian pemborongan bangunan, karena hal tersebut menyangkut keuangan negara dalam jumlah besar dan untuk melindungi keselamatan umum.
Seperti telah dikatakan diatas bahwa dalam perjanjian pemborongan dalam tulisan ini salah satu pihak adalah pemerintah sebagai pihak yang memberikan pekerjaan atau pihak yang memborongkan sedangkan pihak lainnya adalah pemborong atau kontraktor dalam hal ini adalah pihak swasta. Pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan terdapat dalam Pasal 1601b KUH Perdata yang berbunyi :
Perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan.

Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUHPerdata, juga diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang / jasa pemerintah. Prof Subekti mengatakan bahwa pihak yang satu menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak yang lainnya untuk diserahkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dengan menerima suatu jumlah uang dari hasil pekerjaannya tersebut.
Didalam perjanjian ini juga terdapat kemungkinan adanya wanprestasi karena kelalaian atau kegagalan pengusaha atau pemborong dalam melaksanakan kewajiban atau kontrak perjanjian pemborongan yang merupakan hambatan terhadap waktu penyelesaian dan timbulnya kerugian. Atau terjadinya overmacht atau force majeur yaitu seuatu keadaan memaksa diluar kekuasaan manusia, yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tidak dapat memenuhi prestasinya seperti adanya banjir dan tanah longsor. Dalam keadaan yang demikian permasalahan yang akan timbul adalah masalah resiko. Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa.
Kabupaten Brebes merupakan salah satu daerah yang rawan dengan adanya banjir dan tanah longsor. Sehingga banyak pekerjaan pembangunan terutama pembangunan jalan yang baru saja dibangun bahkan belum selesai pengkerjaannya hancur karena banjir dan tanah longsor. Seperti terlihat dalam kasus perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Aji Pamungkas. Dimana Pemerintah Kabupaten Brebes sebagai pihak pemberi kerja dan CV. Aji Pamungkas sebagai pemborong. Dalam pelaksanaan perjanjian pekerjaan tersebut yang karena pengkerjaan dilakukan pada fase musim penghujan sehingga banyak terjadi tanah longsor dan pelaksanaan perjanjian tersebut menjadi terlambat dan terhambat.
Dari uraian diatas kami tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Proyek Peningkatan Jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Aji Pamungkas?
2. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh para pihak dengan adanya keterlambatan didalam penyelesaian pekerjaan?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. mengetahui pelaksanaan perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Aji Pamungkas.
2. mengetahui upaya yang dilakukan oleh para pihak dengan adanya keterlambatan didalam penyelesaian pekerjaan.

D.Tinjauan Pustaka
1. Perjanjian Pada Umumnya
Perikatan diatur dalam KUHPerdata buku III, pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua pihak atau lebih, yang memberikan hak kepada satu pihak untuk menuntut prestasi dari yang lainnya, sedangkan pihak yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Dan ada pula sarjana yang mengartikan perikatan seperti yang dimaksud dalam buku III KUHPerdata sebagai hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan, di mana di satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban. Sedangkan menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi tersebut. Di dalam perikatan terdapat dua pihak, pertama pihak yang berhak atas prestasi dan kedua berkewajiban memberikan prestasi.
Perikatan sendiri dapat terjadi karena dua hal yaitu:
a. Perjanjian
b. Undang-undang.
KUHPerdata buku III tentang perikatan terdapat di dalamnya bab kedua tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian atau kontrak, Prof. Subekti membedakan perikatan dan perjanjian sebagai berikut :
Perikatan adalah suatu peristiwa abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang kongkrit. Sedangkan menurut Pasal 1313 KUHPerdata perjanjian atau kontrak adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut R. Setiawan rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum, sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut:
Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum, menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga rumusannya menjadi : persetujuan adalah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan J. Satrio memberikan definisi perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain, perjanjian berisi perikatan.
Untuk adanya suatu perjanjian harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan sama-sama melakukan tindakan hukum. Itulah sebabnya bahwa perjanjian merupakan tindakan hukum dua pihak. Tindakan hukum dua pihak tidak lain merupakan perjanjian. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian dinamakan persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu dapat dikatakan bahwa perjanjian dan persetujuan itu adalah sama. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, pengertian kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
Dengan diadakannya perikatan atau kontrak atau perjanjian atau hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang menuntut adanya sebuah prestasi dari salah satu pihak. Prestasi memiliki arti luas yang tidak hanya berupa uang, tetapi apa saja yang tidak dilarang oleh hukum. Jadi, bisa berupa penyerahan barang yang tidak berupa uang, kewajiban melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Namun karena di dalam perikatan terdapat dalam lapangan hukum kekayaan, maka banyak sarjana yang mengartikan prestasi dalam bentuk yang dapat dinilai dengan uang, perikatan akan menimbulkan hak dan kewajiban dari sana mempunyai nilai uang atau paling tidak pada akhirnya dapat dijabarkan dalam sejumlah uang tertentu.
Berdasarkan pengertian di atas dapat terjadi dalam suatu hubungan hukum perikatan pada suatu waktu, suatu pihak dapat menjadi pihak yang berhak. Namun di lain waktu, dapat menjadi pihak yang berkewajiban. Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Di dalam perjanjian ada syarat-syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ada empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.
Pada hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) tidak bebas, jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya.
2. Perjanjian Pekerjaan
Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa perjanjian pekerjaan atau perjanjian pemborongan diatur dalam Buku III KUH Perdata Pasal 1601b. Dengan adanya perjanjian pemborongan selalu ada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan, tetapi ada pihak-pihak lain yang secara tidak langsung terkait dengan adanya perjanjian pemborongan. Baik pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan dan pihak lain yang secara tidak langsung terkait dengan adanya perjanjian pemborongan disebut peserta dalam perjanjian pemborongan. Adapun peserta dalam perjanjiannya yaitu :
a. prinsipal (pimpinan proyek / pemberi tugas)
b. pemborong (rekanan / kontraktor)
c. perencana (arsitek)
d. pengawas (direksi)
Subekti membedakan perjanjian pemborongan dalam dua macam, yaitu pertama perjanjian pekerjaan dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut kedua perjanjian pekerjaan dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaan saja.
Satu dan lain memiliki konsekuensi yang berbeda dalam hal perjanjian pekerjaan dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaan saja jika pekerjaan musnah sebelum pekerjaan itu diserahkan ia bertanggungjawab dan tidak dapat menuntut harga yang diperjanjiakan kecuali apabila musnahnya barang itu karena suatu cacat yang terdapat dalam bahan yang disediakan oleh pemberi tugas, yang bertanggung jawab adalah pemberi tugas. Dalam hal perjanjian pekerjaan dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan dengan cara bagaimanapun pekerjaan musnah sebelum diserahkan kepada pihak yang memberikan pekerjaan maka segala kerugian yang ditimbulkan atas tanggung jawab dari pihak penerima pekerjaan atau pemborong kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak yang memberikan pekerjaan telah lalai menerima hasil pekerjaan itu.
3. Wanprestasi
Perjanjian dibuat agar apa yang diperjanjikan tersebut dipenuhi prestasinya. Dalam perjanjian terdapat obyek perjanjian atau yang diperjanjiakan sesuai dengan ketentuan 1320 KUHPerdata. Obyek tersebut berupa prestasi yaitu barang atau sesuatu yang harus dituntut. Prestasi dari seorang debitur diharapkan akan dapat terpenuhi tetapi adakalanya prestasi itu tidak dapat terpenuhi. Maka dalam hal demikian debitur telah lalai atau melakukan wanprestasi.
Wanprestasi atau yang kadang disebut dengan cidera janji adalah kebalikan dari pengertian prestasi, dalam bahasa inggris sering disebut dengan istilah default atau nonfulfillment atau breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam kontrak bersangkutan.
Konsekwensi dari yuridis dari tindakan wanprestasi adalah timbulnya hak dari pihak yang dirugikan dalam kontrak tersebut untuk menuntut ganti kerugian dari pihak yang telah merugikannya, yaitu pihak yang telah melakukan wanprestasi. Para sarjana mendefinisikan ingkar janji ke dalam pengertian wanprestasi. Atau ingkar janji menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Terlambat memenuhi prestasi.
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik, sedangkan prestasi itu sendiri merupakan objek perikatan berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.



E. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
Sebagai objek penelitian adalah perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Aji Pamungkas
2. Subjek Penelitian
Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah :
a. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Brebes
b. Direktur CV. Aji Pamungkas
3. Sumber Data
a. Data Primer
Yaitu berupa keterangan atau informasi yang diperoleh langsung dari subjek penelitian.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis, yang terdiri dari :
1) Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku-buku literatur, jurnal, artikel yang berkaitan dengan obyek penelitian.
3) Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedi.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Untuk pengumpulan data digunakan metode wawancara, yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan tanya jawab langsung dengan responden. Pedoman wawancara ini dipakai pada saat melakukan pengumpulan data berupa daftar pertanyaan yang masih bersifat terbuka dan hanya meliputi garis besar pertanyaan, sehingga terbuka kemungkinan untuk mengembangkan lebih lanjut.
b. Studi Kepustakaan
Yaitu dengan mempelajari buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan materi yang diteliti.
5. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan secara yuridis normatif, yaitu data dan fakta yang diteliti, dikaji dan dikembangkan berdasarkan pada hukum.
6. Analisis Data
Data-data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun penelitian lapangan akan dianalisa dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu dengan menguraikan data-data yang diperoleh dihubungkan dengan masalah yang diteliti, menganalisa dan menggambarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam objek penelitian sehingga akan diperoleh kesimpulan dan pemecahan dari permasalahan tersebut.





F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan metode penelitian yang digunakan
BAB II TINJAUAN UMUM
Dalam bab ini akan diuraikan tentang pengertian-pengertian seputar perjanjian pada umumnya dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai perjanjian pekerjaan yang membahas pengertian perjanjian pekerjaan, sifat dan bentuknya, Isi perjanjian hingga masalah yangterkait dengan adanya keadaan memaksa.
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti terkait dengan jawaban atas rumusan maslah yang ada yaitu pelaksanaan perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindang wangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Aji Pamungkas dan Upaya hukum apakah yang dilakukan oleh pemberi kerja dengan adanya keterlambatan yang dilakukan oleh pemborong didalam penyelesaian pekerjaan


BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan menyimpulkan dari penelitian yang dilakukan kemudian akan memberikan saran.


Free download Klik Disini
Baca Selengkapnya...

ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT-DAERAH DAN PINJAMAN DAERAH DI KABUPATEN DAN KOTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1994/1995-2003

BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah.
Salah satu asas pembangunan daerah adalah desentralisasi, menurut Ketentuan Umum UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintah Daerah, Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari asas desentralisasi adalah berlakunya otonomi daerah.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat..Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kakhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud
2
dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: 167).
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara propinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 169).
Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari hubungan antara sistem pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan: Pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan yang penting, dan adanya campur tangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap Pemerintah daerah. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar. Ketergantungan terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat. Adalah ironis, Kendati pelaksanaan otonomi menitik beratkan pada
3
kabupaten/kota sebagai ujung tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibanding propinsi (Mudrajad Kuncoro, 2004: 18).
Setidaknya ada empat penyebab utama tingginya ketergantungan terhadap transfer dari pusat (Mudrajad Kuncoro, 2004: 13), yaitu:
1. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.
2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.
3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan.
4. Ada yang khawatir bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme.
Oleh karena itu, alternatif solusi yang ditawarkan adalah (Mudrajad Kuncoro, 2004: 15):
1. Meningkatkan peran BUMD.
2. Meningkatkan penerimaan daerah.
3. Meningkatkan pinjaman daerah.
Dari alternatif-alternatif tersebut, pinjaman daerah merupakan sumber penerimaan yang mempunyai karakteristik berbeda, namun penggunaan pinjaman sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan fiskal dapat dipertanggungjawabkan sepanjang memenuhi berbagai persyaratan seperti adanya kemampuan membayar kembali serta pemanfaatan yang berguna bagi
4
pelayanan masyarakat atau pembangunan daerah. Dalam penjelasan umum yang tertuang dalam peraturan pemerintah nomor 107 tahun 2000, ditegaskan bahwa: dalam rangka peningkatan kemampuan keuangan daerah, pemerintah pusat memberikan peluang kepada daerah untuk melakukan pinjaman. Namun demikian, pinjaman daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, harus dicatat dan dikelola dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) (Yook Tri Handoko, 2003: 3).
Dalam masalah keuangan daerah, perimbangan pembiayaan pemerintah pusat dan daerah dengan pendapatan yang secara leluasa digali sendiri untuk mencukupi kebutuhan sendiri masih mempunyai kelemahan sehingga keterbatasan dalam potensi penerimaan daerah tersebut bisa menjadikan ketergantungan terhadap transfer pusat. Pemerintah Daerah selama ini memiliki keterbatasan pembiayaan dari potensi sendiri (PAD). Selama ini komponen pembiayaan terbesar berasal dari dana transfer dari pusat yaitu Dana Alokasi Umum dan hanya sebagian kecil dari PAD, potensi pembiayaan lain yang belum dikelola yaitu dari pinjaman daerah (Rokhedi P. Santoso, 2003: 148).
Pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan memiliki keuntungan, antara lain dapat mengatasi keterbatasan kemampuan riil atau nyata pada saat ini dari suatu daerah yang sebenarnya potensial dan memiliki kapasitas fiskal yang memadai. Dengan pinjaman dapat mendorong percepatan proses pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah-daerah yang dimaksud. Jenis pinjaman ini merupakan pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka
5
menengah dipergunakan untuk membiayai layanan masyarakat yang tidak menghasilkan penerimaan. Sedang pinjaman jangka pendek digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum serta belanja operasional dan pemeliharaan. Untuk mengurangi ketergantungan daerah kapada pusat pinjaman jangka panjang dianggap lebih efektif daripada pinjaman jangka pendek (Rokhedi P. Santoso, 2003: 148).
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dalam rangka penyusunan skripsi dipilih judul Analisis Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dan Pinjaman Daerah di Kabupaten dan Kota Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1994/1995-2003.
I.B. Rumusan Masalah Penelitian.
Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah diatas, dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
a. Seberapa besar Derajat Desentralisasi Fiskal keuangan daerah kabupaten dan kota Daerah Istimewa Yogyakarta?
b. Bagaimana kapasitas Pinjaman Daerah Kabupaten dan kota Daerah Istimewa Yogyakarta yang dihitung dengan Jumlah Sisa Pokok Pinjaman dan Debt Service Coverage Ratio (DSCR)?
6
I.C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
I.C.1. Tujuan Penelitian.
1. Untuk menganalisis Derajat Desentralisasi Fiskal keuangan daerah kabupaten dan kota Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga bisa diketahui rasio penerimaan daerah yang paling menonjol terhadap Total Penerimaan Daerah.
2. Untuk mengukur kapasitas Pinjaman Daerah kabupaten dan kota Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat selama tahun 1994/1995-2003.
I.C.2. Manfaat Penelitian.
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, yaitu:
1. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai jenjang strata satu (S1) pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia
2. Bagi peneliti menambah pengetahuan yang selama ini didapat di bangku kuliah yang kemudian dikembangkan dalam bentuk penelitian.
3. Sebagai masukan yang berarti bagi pembuat kebijakan pemerintah daerah setempat, dan lembaga-lambaga terkait dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
7
I.D. Sistematika penulisan.
Skripsi ini dibagi menjadi 7 bab dengan urutan penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM SUBYEK PENELITIAN
Bab ini merupakan uraian atau gambaran atau deskripsi secara umum tentang kabupaten dan kota Daerah Istimewa Yogyakarta
BAB III KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi pendokumentasian dan pengkajian hasil dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan pada area yang sama.
BAB IV LANDASAN TEORI
Bab ini berisi empat bagian; pertama tentang landasan teori yang berisikan teori Otonomi Daerah, kedua berisi Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat, ketiga berisi tentang Desentralisasi Fiskal Daerah, Keempat berisi tentang Pinjaman Daerah.
BAB V METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode analisis yang digunakan dalam menganalisis Derajat Desentralisasi Fiskal dan alat analisis untuk menghitung besar pinjaman yang bisa didapat suatu daerah.
8
BAB VI ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian dan hasil analisa dan pengolahan data.
BAB VII SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Bab ini berisi dua bagian; pertama merupakan kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis; kedua merupakan hasil dari simpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.
Free download Klik Disini
Baca Selengkapnya...

Teman DiskusiSkripsi.com


 

Free Affiliasi Program