BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Baitul Maal wa-Tamwil (BMT) merupakan salah satu model lembaga keuangan syaria’ah yang paling sederhana yang saat ini banyak muncul di Indonesia hingga ribuan BMT dan nilai asetnya sampai trilyunan, yang bergerak di kalangan masyarakat ekonomi bawah, berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi kegiatan ekonomi bagi pengusaha kecil berdasarkan prinsip syari’ah.
BMT menganut azas syari’ah, semua transaksi yang dilakukan harus berprinsip syari’ah yakni setiap transaksi dinilai sah apabila transaksi tersebut telah terpenuhi syarat rukunnya, bila tidak terpenuhinya maka transaksi tersebut batal.
Jadi kedudukan akad sangat penting dalam penerapan prinsip-prinsip syari’ah dalam BMT. Namun apakah BMT konsisten dalam penerapan prinsip-prinsip syari’ah tersebut ?
Timbulnya pertanyaan tersebut karena dalam masyarakat dalam menilai Lembaga Keuangan Syari’ah khususnya BMT ada yang bersikap sinis. Bahwa praktek BMT tidak beda dengan praktek Bank Konvensional, mereka beranggapan bahwa BMT dalam mengambil keuntungan lebih besar dari bunga Bank Konvensional, di Bank Konvensional mengambil bunga 1% hingga 2% setiap bulan sedangkan di BMT dalam mengambil keuntungan
2
lebih dari 2%, hingga timbul pertanyaan yang mana yang lebih mendekati Riba ?
Dalam interen pengelola BMT ada dugaan adanya praktek-praktek pengelolaan dana yang belum sepenuhnya bernuansa syari’ah, terjadi banyak deviasi antara teori dan praktek dalam operasional sebagian besar BMT, terutama yang berhubungan dengan penerapan prinsip-prinsip syari’ah dalam akad pengerahan dana dan penyaluran dana kepada masyarakat.
Masalah-masalah tersebut disebabkan karena prinsip-prinsip syari’ah yang menjadi dasar rujukan dalam operasional BMT belum sepenuhnya dipahami dengan baik oleh sebagian besar pengelola BMT sendiri, inilah yang melahirkan banyak penyimpangan dalam praktek pengelolaan lembaga mikro keuangan syari’ah yang sering mengundang kritik. 1
Prinsip syari’ah yang menempatkan uang sebagai alat tukar telah banyak dipahami secara tidak benar, yang menempatkan uang sebagai komoditas perdagangan yang siap dijual belikan, dengan indikasi penentuan keuntungan secara pasti tanpa melihat jenis akad yang diterapkan.
Masih banyak pengelola BMT yang orientasi kerjanya lebih diarahkan untuk mendapatkan keuntungan dengan mengabaikan misi sosial, sehingga mendorong mereka berani mengesampingkan aspek akhlaqul karimah yang menjadi bagian nilai-nilai ekonomi syari’ah. Seiring dengan itu, beberapa pengelola BMT mempunyai iktikad yang tidak baik di dalam memperjuangkan implementasi prinsip-prinsip syari’ah dalam wadah BMT
1 Makhalul Ilmi. Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, Cet. 1. (Yogyakarta : UII Pres, 2002), hal. 49.
3
dengan menganggap prinsip-prinsip syari’ah masih relatif sulit diterapkan secara konsekuen dalam operasional BMT.
Kedudukan BMT di tengah tata hukum perbankan nasional masih sangat lemah, Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dalam pasal-pasalnya belum mengatur hal-hal yang berhubungan dengan usaha lembaga mikro keuangan syari’ah. Demikian juga ketentuan-ketentuan Bank Indonesia yang mengatur operasional dan tata kerja perbankan nasional, tidak satupun butir yang eksplisit mengatur operasional dan tata kerja lembaga mikro keuangan syari’ah.
Meskipun ada beberapa buku atau modul yang spesifik mengatur masalah itu, seperti yang telah dikeluarkan oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), keberadaannya sangat lemah karena tidak mengikat untuk dipedomani dan bisa untuk dijadikan rujukan namun tidak ada kewajiban bagi BMT untuk mengikutinya. Keadaan ini merupakan kemudahan bagi umat Islam untuk mendirikan banyak BMT, namun keadaan ini juga dapat berpeluang menjadi ancaman bagi keberadaan BMT itu sendiri. 2
Di masyarakat kenyataannya dapat ditemui banyak BMT didirikan tidak disertai dengan sumber daya manusia yang memadai dan dalam operasinya dapat mengarah tidak mengikuti ketentuan mengenai prinsip-prinsip kesehatan bank, seperti prinsip mengenai permodalan, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas serta prinsip-prinsip lain yang berhubungan dengan usaha bank, bahkan mengabaikan keabsahan penerapan prinsip-prinsip dalam
2 Ibid, hal. 51.
4
akad-akadnya, baik yang berhubungan dengan akad pengumpulan dana maupun dalam penyaluran dananya kepada masyarakat.
Belum adanya aturan hukum di bidang perbankan yang melindungi ketentuan yang berhubungan dengan usaha lembaga mikro keuangan syari’ah, seperti halnya aturan hukum yang berlaku pada Bank Umum Syari’ah dan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah. Adalah salah satu faktor dominan penyebab timbulnya banyak penyimpagan manajemen dalam usaha BMT, termasuk dalam kaitannya dengan penerapan prinsip-prinsip syari’ah. Hal ini yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi secara negatif perkembangan lembaga mikro keuangan syari’ah di masa yang akan datang.
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas sebagian juga ada pada BMT Safinah Klaten terutama tentang penerapan prinsip-prinsip syariah dalam hal syarat syahnya akad pembiayaan. Berpijak dari masalah tersebut di atas yang mendorong penyusun mengadakan penelitian di BMT dan penyusun memilih di BMT Safinah Klaten dengan mengambil judul “ANALISIS TERHADAP AKAD DI BMT SAFINAH KLATEN (Perspektif Hukum Kontrak Dan Fiqih)”.
Free download