BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia tidak mengenal adanya sistem sentralistik sebagaimana yang tersirat dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Asas penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, sehingga terdapat pemerintah daerah dan daerah otonom atau wilayah yang bersifat administratif. Hal ini ditujukan untuk mencapai masyarakat yang adil makmur baik materiil maupun spirituil.
Diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 35 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proposional. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah secara demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, terutama kepada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah guna peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan sosial, demokrasi
dan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin besar, sehingga tanggung jawab yang diemban juga akan bertambah banyak. Darumurti dan Rauta (2000: 49) mengemukakan implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintah yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, dapat merupakan berkah bagi daerah. Namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaannya, karena semakin bertambah urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu, ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan, antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana daerah.
Dalam mengisi dan melaksanakan pembangunan, masalah keuangan merupakan masalah pokok pemerintah, dalam rangka penerimaan dan pengeluaran yang harus dilakukan oleh pemerintah demi kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, meningkatnya pendapatan perkapita dan taraf hidup masyarakat, merupakan faktor-faktor yang menjadi tantangan bagi masyarakat dan pemerintah. Hal ini akan menyebabkan pengeluaran pemerintah yang semakin tinggi. Di lain pihak sumber penerimaan yang terbatas harus diusahakan untuk menutupi kebutuhan tersebut.
Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri (Kaho, 1998: 124). Kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangannya sendiri guna membiayai kebutuhan daerah tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat. Selain itu, salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa keuangan merupakan faktor penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya.
Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah. PAD selalu dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab.
Insukindro dkk. (1994: 1) mengemukakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah daerah. Pada prinsipnya,
semakin besar sumbangan PAD kepada APBD akan menunjukkan semakin kecilnya tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah daerah. Dalam rangka implementasi Undang-undang Nomor 32 dan 35 tahun 2004, salah satu faktor yang harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah adalah kemampuan keuangan daerah, sedangkan indikator yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan keuangan daerah tersebut ialah rasio PAD dibandingkan dengan total penerimaan APBD (Kuncoro, 1995: 8).
Dengan adanya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi mengamanatkan kepada Presiden untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi yang luas ialah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintah yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian sampai dengan evaluasi.
Prinsip-prinsip otonomi daerah yang dianut dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2004, yaitu :
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi keanekaragaman daerah
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya, berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran dan penyelenggaraan pemerintah daerah.
7. Pelaksanaan tugas pembantuan tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga pemerintah daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
Dengan perubahan yang sangat mendasar dalam Undang-Undang tersebut, dampak yang akan sangat dirasakan oleh pemerintah daerah ialah bukan hanya sekedar menyangkut suatu perubahan sistem dan struktur pemerintah daerah. Akan tetapi juga menyangkut tentang kesiapan dan ketersediaan sumber daya manusia aparatur, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang akan berperan dan berfungsi sebagai motor penggerak jalannya daerah yang kuat, efektif dan efisien, serta memiliki akuntabilitas,.
Hubungan keuangan pusat dan daerah yang berlaku sebelumnya membawa dampak pada relatif kecilnya sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selama ini, pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 mengakibatkan kurang mampu membantu daerah dalam meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Hal ini disebabkan UU No. 5 Tahun 1974 cenderung bersifat sentralistik dan membatasi berbagai kewenangan daerah yang penting.
Kemampuan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah juga mengalami berbagai kendala sebagai berikut (Arifin, 2000: 83-84) :
1. Dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis-jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut daerah
sudah ditetapkan secara limitatif, sehingga akan menyulitkan daerah untuk berkreasi dalam menetapkan peluang pajak baru.
2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menghadapi berbagai kendala antara lain keterbatasan modal, campur tangan birokrat yang berlebihan, status badan hukum yang tidak jelas dan minimnya sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional.
3. Khusus untuk penerimaan yang berasal dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, kendala yang dihadapi daerah adalah belum adanya mekanisme dan prosedur baku dalam penyaluran dana, sehingga seringkali terjadi keterlambatan.
Setiap daerah di Indonesia memiliki permasalahan yang relatif hampir sama dalam kaitanya dengan pelaksanaan otonomi daerah, kemampuan suatu daerah menjadi daerah otonom dapat dilihat dari 3 aspek ketersediaan prasarana dan sarana, pembiayaan dan personalia yang memadai menurut Mardiasmo (2000:1) yang harusdiatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah, untuk mewujudkan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas nyata dan bertanggung jawab diperlukan manajemen keuangan daerah yang mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel.
Dalam rangka membantu tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat Kabupaten lampung
Daerah Tingkat II Lampung Tengah dibagian Timur, maka dibentuk wilayah kerja Pembantu yaitu Lampung Timur, Pada tahun 1999 dengan undang-undang nomor 12 tahun 1999, wilayah Pembantu Bupati Kabupaten Lampung Tengah wilayah Sukadana dibentuk menjadi Kabupaten Lampung Timur, alasan dipilihnya Lampung Timur karna Lampung Timur membentang pada posisi: 105o 15o _ 106o 20o Bujur Timur, 4o 37o _ 5o37o Secara umum, luas wilayah Kabupaten Lampung Timur adalah 5.325,03 Km2 atau sekitar 15 % dari total Wilayah Propinsi Lampung dan hingga kini berdasarkan keputusan Bupati Lampung Timur no.19 tahun 2000 dan no.6 tahun 2002 maka jumlah desa dikabupaten Lampung Timur sebanyak 232 desa definitif dan 3 desa persiapan.
Adapun menjadi masalah pokok dalam penelitian ini bahwa untuk menjadi suatu daerah otonom yang sesungguhnya maka salah satu unsur penting yaitu diperlukan adanya sumber keuangan yang cukup oleh karna itu perlu dilakukan analisis terhadap realita kondisi keuangan daerah pada kabupaten Lampung timur baik secara Internal maupun eksternal termasuk bagaimana proyeksi penerimaan daerah pada masa lima tahun yang akan datang dari tinjauan kebelakang realisasi keuangan daerah selama ini menyadari keterbatasan pengetahuan dan kemampuan maka penelitian dilakukan untuk menganalisis kemampuan kabupaten Lampung Timur menjadi daerah otonom dalam konsep kemampuan desentralisasi otonomi daerah, dibatasi pada aspek keuangan yang meliputi struktur dan pengesahan dalam menghitung rasio keuangan daerah yang meliputi: Pendapatan Asli Daerah
(PAD),Total Penerimaan Daerah (TPD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Kusus (DAU), Bagi Hasil Pajak, Belanja Rutin, Bantuan-bantuan dan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Di sisi lain, sangat disadari bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki potensi penerimaan yang berbeda, karena adanya perbedaan potensi sumber daya, tingkat ekonomi dan karakteristik sosial budaya. Perbedaan seperti ini menjadikan hasil penelitian yang dilakukan di daerah tertentu sulit untuk menjelaskan persoalan yang sama di daerah lain. Dengan demikian, khusus untuk Lampung Timur perlu dilakukan penelitian tersendiri untuk mendapatkan gambaran yang relatif lebih lengkap mengenai kemampuan daerah menjadi daerah otonom.
Pada saat krisis ekonomi secara secara makro, dimana tingkat inflasi menjadi tinggi sehingga harga barang dan jasa menjadi melambung tinggi. Daya beli masyarakat relatif rendah yang berakibat kegiatan ekonomi menjadi negatif. Tetapi kondisi ini berjalan membaik dengan pertumbuhan yang positif sejak tahun 1999 dan serterusnya.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis berusaha untuk mengetahui lebih jauh mengenai seberapa besar kemampuan keuangan daerah Kabupaten Lampung Timur dalam menghadapi otonomi daerah. Untuk itu penulis menuangkannya dalam skripsi dengan judul : “ MENGUKUR TINGKAT KEMAMPUAN KEUANGAN DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH PERIODE 2000-2004 DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana kemampuan keuangan daerah Kabupaten Lampung Timur dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah periode 2000-2004?
1.3. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini dapat dilakukan secara mendalam, maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:
1. Definisi dari otonomi daerah didasarkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pasal 1 butir (h), yaitu kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan dari masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Parameter keuangan daerah yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
a. DOF (Derajat Otonomi Fiskal)
DOF adalah Besar kecilnya kemampuan keuangan suatu daerah dalam memberikan suatu kontribusi terhadap realisasi penerimaan daerah.
b. RDAU (Rasio Dana Alokasi Umum)
RDAU adalah Tingkat penyaluran dana yang harus di alokasikan pemerintah pusat kepada suatu daerah guna menunjukan kemandirian keuangan daerah dalam membiayai urusan pemerintah.
c. Indek Kemampuan Rutin (IKR)
IKR adalah Suatu ukuran yang menggambarkan sejauh mana kemampuan keuangan dalam potensi suatu daerah dalam membiayai belanja rutin.
d. Rasio Ketergantungan
Rasio adalah Tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap alokasi dana bantuan dari pemeritah pusat memperlihatkan kesiapan daerah dalam menggali sumber dana potensi lokal yang terkandug di dalamnya.
Rumus perhitungan untuk parameter-parameter di atas berdasarkan pada Manual Administrasi Keuangan Daerah dari Departemen Dalam Negeri tahun 1991.
Penelitian ini menggunakan data-data keuangan daerah Kabupaten Lampung Timur pada tahun anggaran 1998 sampai dengan 2002 yang diambil dari arsip Pemerintah Daerah maupun Biro Pusat Statistik.
1.4.Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten Lampung Timur dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah periode 2000-2004.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
Diharapkan dapat mendalami kajian danwawasan tentang keuangan daerah khususnya tentang kemampuan dalam melaksanakan otonomi daerah yang ditinjau dari peranan dan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta efisiensi dan efektivitas pengelolaannya.
2. Bagi Pemerintah Daerah
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Ttimur dalam menentukan arah kebijakan keuangan daerah yang berkaitan dengan kesiapan dalam melaksanakan otonomi daerah melalui peningkatan PAD.
3. Bagi Akademisi
Sebagai bahan informasi untuk menambah wacana bagi instansi terkait dan pihak-pihak lain guna penelitian lebih lanjut.
1.6. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: TINJAUAN UMUM SUBYEK PENELITIAN
Bab ini merupakan uraian/deskripsi/gambaran secara umum atas subyek penelitian.
BAB III: KAJIAN PUSTAKA
Berisi pengkajian dari penelitian-penelitian sebelumnya yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
BAB IV: LANDASAN TEORI dan HIPOTESIS
Berisi mengenai teori yang digunakan untuk mendekati permasalahan yang akan diteliti serta hipotesis dari rumusan masalah.
BAB V: METODOLOGI PENELITIAN
Menguraikan tentang metode analisis yang digunakan dalam penelitian dan data-data yang digunakan beserta sumber data.
BAB VI: ANALISIS DATA
Berisi hasil analisa data yang diperoleh dalam penelitian.
BAB VII: KESIMPULAN dan IMPLIKASI
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil-hasil perhitungan analisis dan implikasi yang sesuai dengan permasalahan.
Free download PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia tidak mengenal adanya sistem sentralistik sebagaimana yang tersirat dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Asas penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, sehingga terdapat pemerintah daerah dan daerah otonom atau wilayah yang bersifat administratif. Hal ini ditujukan untuk mencapai masyarakat yang adil makmur baik materiil maupun spirituil.
Diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 35 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proposional. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah secara demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, terutama kepada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah guna peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan sosial, demokrasi
dan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin besar, sehingga tanggung jawab yang diemban juga akan bertambah banyak. Darumurti dan Rauta (2000: 49) mengemukakan implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintah yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, dapat merupakan berkah bagi daerah. Namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaannya, karena semakin bertambah urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu, ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan, antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana daerah.
Dalam mengisi dan melaksanakan pembangunan, masalah keuangan merupakan masalah pokok pemerintah, dalam rangka penerimaan dan pengeluaran yang harus dilakukan oleh pemerintah demi kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, meningkatnya pendapatan perkapita dan taraf hidup masyarakat, merupakan faktor-faktor yang menjadi tantangan bagi masyarakat dan pemerintah. Hal ini akan menyebabkan pengeluaran pemerintah yang semakin tinggi. Di lain pihak sumber penerimaan yang terbatas harus diusahakan untuk menutupi kebutuhan tersebut.
Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri (Kaho, 1998: 124). Kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangannya sendiri guna membiayai kebutuhan daerah tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat. Selain itu, salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa keuangan merupakan faktor penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya.
Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah. PAD selalu dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab.
Insukindro dkk. (1994: 1) mengemukakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah daerah. Pada prinsipnya,
semakin besar sumbangan PAD kepada APBD akan menunjukkan semakin kecilnya tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah daerah. Dalam rangka implementasi Undang-undang Nomor 32 dan 35 tahun 2004, salah satu faktor yang harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah adalah kemampuan keuangan daerah, sedangkan indikator yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan keuangan daerah tersebut ialah rasio PAD dibandingkan dengan total penerimaan APBD (Kuncoro, 1995: 8).
Dengan adanya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi mengamanatkan kepada Presiden untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi yang luas ialah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintah yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian sampai dengan evaluasi.
Prinsip-prinsip otonomi daerah yang dianut dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2004, yaitu :
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi keanekaragaman daerah
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya, berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran dan penyelenggaraan pemerintah daerah.
7. Pelaksanaan tugas pembantuan tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga pemerintah daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
Dengan perubahan yang sangat mendasar dalam Undang-Undang tersebut, dampak yang akan sangat dirasakan oleh pemerintah daerah ialah bukan hanya sekedar menyangkut suatu perubahan sistem dan struktur pemerintah daerah. Akan tetapi juga menyangkut tentang kesiapan dan ketersediaan sumber daya manusia aparatur, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang akan berperan dan berfungsi sebagai motor penggerak jalannya daerah yang kuat, efektif dan efisien, serta memiliki akuntabilitas,.
Hubungan keuangan pusat dan daerah yang berlaku sebelumnya membawa dampak pada relatif kecilnya sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selama ini, pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 mengakibatkan kurang mampu membantu daerah dalam meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Hal ini disebabkan UU No. 5 Tahun 1974 cenderung bersifat sentralistik dan membatasi berbagai kewenangan daerah yang penting.
Kemampuan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah juga mengalami berbagai kendala sebagai berikut (Arifin, 2000: 83-84) :
1. Dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis-jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut daerah
sudah ditetapkan secara limitatif, sehingga akan menyulitkan daerah untuk berkreasi dalam menetapkan peluang pajak baru.
2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menghadapi berbagai kendala antara lain keterbatasan modal, campur tangan birokrat yang berlebihan, status badan hukum yang tidak jelas dan minimnya sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional.
3. Khusus untuk penerimaan yang berasal dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, kendala yang dihadapi daerah adalah belum adanya mekanisme dan prosedur baku dalam penyaluran dana, sehingga seringkali terjadi keterlambatan.
Setiap daerah di Indonesia memiliki permasalahan yang relatif hampir sama dalam kaitanya dengan pelaksanaan otonomi daerah, kemampuan suatu daerah menjadi daerah otonom dapat dilihat dari 3 aspek ketersediaan prasarana dan sarana, pembiayaan dan personalia yang memadai menurut Mardiasmo (2000:1) yang harusdiatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah, untuk mewujudkan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas nyata dan bertanggung jawab diperlukan manajemen keuangan daerah yang mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel.
Dalam rangka membantu tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat Kabupaten lampung
Daerah Tingkat II Lampung Tengah dibagian Timur, maka dibentuk wilayah kerja Pembantu yaitu Lampung Timur, Pada tahun 1999 dengan undang-undang nomor 12 tahun 1999, wilayah Pembantu Bupati Kabupaten Lampung Tengah wilayah Sukadana dibentuk menjadi Kabupaten Lampung Timur, alasan dipilihnya Lampung Timur karna Lampung Timur membentang pada posisi: 105o 15o _ 106o 20o Bujur Timur, 4o 37o _ 5o37o Secara umum, luas wilayah Kabupaten Lampung Timur adalah 5.325,03 Km2 atau sekitar 15 % dari total Wilayah Propinsi Lampung dan hingga kini berdasarkan keputusan Bupati Lampung Timur no.19 tahun 2000 dan no.6 tahun 2002 maka jumlah desa dikabupaten Lampung Timur sebanyak 232 desa definitif dan 3 desa persiapan.
Adapun menjadi masalah pokok dalam penelitian ini bahwa untuk menjadi suatu daerah otonom yang sesungguhnya maka salah satu unsur penting yaitu diperlukan adanya sumber keuangan yang cukup oleh karna itu perlu dilakukan analisis terhadap realita kondisi keuangan daerah pada kabupaten Lampung timur baik secara Internal maupun eksternal termasuk bagaimana proyeksi penerimaan daerah pada masa lima tahun yang akan datang dari tinjauan kebelakang realisasi keuangan daerah selama ini menyadari keterbatasan pengetahuan dan kemampuan maka penelitian dilakukan untuk menganalisis kemampuan kabupaten Lampung Timur menjadi daerah otonom dalam konsep kemampuan desentralisasi otonomi daerah, dibatasi pada aspek keuangan yang meliputi struktur dan pengesahan dalam menghitung rasio keuangan daerah yang meliputi: Pendapatan Asli Daerah
(PAD),Total Penerimaan Daerah (TPD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Kusus (DAU), Bagi Hasil Pajak, Belanja Rutin, Bantuan-bantuan dan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Di sisi lain, sangat disadari bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki potensi penerimaan yang berbeda, karena adanya perbedaan potensi sumber daya, tingkat ekonomi dan karakteristik sosial budaya. Perbedaan seperti ini menjadikan hasil penelitian yang dilakukan di daerah tertentu sulit untuk menjelaskan persoalan yang sama di daerah lain. Dengan demikian, khusus untuk Lampung Timur perlu dilakukan penelitian tersendiri untuk mendapatkan gambaran yang relatif lebih lengkap mengenai kemampuan daerah menjadi daerah otonom.
Pada saat krisis ekonomi secara secara makro, dimana tingkat inflasi menjadi tinggi sehingga harga barang dan jasa menjadi melambung tinggi. Daya beli masyarakat relatif rendah yang berakibat kegiatan ekonomi menjadi negatif. Tetapi kondisi ini berjalan membaik dengan pertumbuhan yang positif sejak tahun 1999 dan serterusnya.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis berusaha untuk mengetahui lebih jauh mengenai seberapa besar kemampuan keuangan daerah Kabupaten Lampung Timur dalam menghadapi otonomi daerah. Untuk itu penulis menuangkannya dalam skripsi dengan judul : “ MENGUKUR TINGKAT KEMAMPUAN KEUANGAN DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH PERIODE 2000-2004 DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana kemampuan keuangan daerah Kabupaten Lampung Timur dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah periode 2000-2004?
1.3. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini dapat dilakukan secara mendalam, maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:
1. Definisi dari otonomi daerah didasarkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pasal 1 butir (h), yaitu kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan dari masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Parameter keuangan daerah yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
a. DOF (Derajat Otonomi Fiskal)
DOF adalah Besar kecilnya kemampuan keuangan suatu daerah dalam memberikan suatu kontribusi terhadap realisasi penerimaan daerah.
b. RDAU (Rasio Dana Alokasi Umum)
RDAU adalah Tingkat penyaluran dana yang harus di alokasikan pemerintah pusat kepada suatu daerah guna menunjukan kemandirian keuangan daerah dalam membiayai urusan pemerintah.
c. Indek Kemampuan Rutin (IKR)
IKR adalah Suatu ukuran yang menggambarkan sejauh mana kemampuan keuangan dalam potensi suatu daerah dalam membiayai belanja rutin.
d. Rasio Ketergantungan
Rasio adalah Tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap alokasi dana bantuan dari pemeritah pusat memperlihatkan kesiapan daerah dalam menggali sumber dana potensi lokal yang terkandug di dalamnya.
Rumus perhitungan untuk parameter-parameter di atas berdasarkan pada Manual Administrasi Keuangan Daerah dari Departemen Dalam Negeri tahun 1991.
Penelitian ini menggunakan data-data keuangan daerah Kabupaten Lampung Timur pada tahun anggaran 1998 sampai dengan 2002 yang diambil dari arsip Pemerintah Daerah maupun Biro Pusat Statistik.
1.4.Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten Lampung Timur dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah periode 2000-2004.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
Diharapkan dapat mendalami kajian danwawasan tentang keuangan daerah khususnya tentang kemampuan dalam melaksanakan otonomi daerah yang ditinjau dari peranan dan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta efisiensi dan efektivitas pengelolaannya.
2. Bagi Pemerintah Daerah
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Ttimur dalam menentukan arah kebijakan keuangan daerah yang berkaitan dengan kesiapan dalam melaksanakan otonomi daerah melalui peningkatan PAD.
3. Bagi Akademisi
Sebagai bahan informasi untuk menambah wacana bagi instansi terkait dan pihak-pihak lain guna penelitian lebih lanjut.
1.6. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: TINJAUAN UMUM SUBYEK PENELITIAN
Bab ini merupakan uraian/deskripsi/gambaran secara umum atas subyek penelitian.
BAB III: KAJIAN PUSTAKA
Berisi pengkajian dari penelitian-penelitian sebelumnya yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
BAB IV: LANDASAN TEORI dan HIPOTESIS
Berisi mengenai teori yang digunakan untuk mendekati permasalahan yang akan diteliti serta hipotesis dari rumusan masalah.
BAB V: METODOLOGI PENELITIAN
Menguraikan tentang metode analisis yang digunakan dalam penelitian dan data-data yang digunakan beserta sumber data.
BAB VI: ANALISIS DATA
Berisi hasil analisa data yang diperoleh dalam penelitian.
BAB VII: KESIMPULAN dan IMPLIKASI
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil-hasil perhitungan analisis dan implikasi yang sesuai dengan permasalahan.