PENERIMAAN DIRI DAN STRES PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS

BAB I
PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah
Setiap perubahan kehidupan atau serangkaian situasi menyebabkan perubahan respon yang meningkatkan resiko terjadinya penyakit atau mempercepat berkembangnya penyakit tersebut. Terdapat beberapa perubahan hidup yang menyebabkan keadaan stres, antara lain : kematian, perkawinan, pertengkaran, penyakit, pekerjaan, perubahan status ekonomi, dan sebagainya. Berbicara mengenai stres yang disebabkan oleh penyakit, disini akan dijabarkan mengenai stres pada penderita diabetes mellitus yang merupakan salah satu penyakit cukup ditakuti.
Salah satu contoh di bawah ini yang diungkapkan oleh Bapak Susilo dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 18 Februari 2007 dapat memberikan gambaran bahwa penyakit diabetes mellitus ini juga membutuhkan pemikiran yang cukup serius. Penyakit diabetes mellitus yang diidap sejak 20 tahun yang lalu membuat kehidupan Bapak Susilo berubah. Walaupun diabetes mellitus yang diidap beliau adalah diabetes mellitus tipe II (tidak tergantung insulin) tetapi rutinitas-rutinitas untuk menjaga kesehatan tubuhnya pun tidak kalah rumitnya dengan diabetes tipe I (tergantung insulin). Bapak Susilo harus menjaga pola makannya seperti tidak banyak mengkonsumsi gula maupun makan-makanan yang manis, menjalani diet, banyak berolahraga minimal berjalan kaki, banyak minum air putih dan buah-buahan, tidak lupa pengecekan gula darah minimal 1 bulan sekali. Hari-hari yang terkadang membuat beliau sulit adalah jika harus menghadiri pesta dan bepergian jauh. Beliau harus lebih selektif memilih makanan yang akan dikonsumsinya karena salah memakan makanan dapat menyebabkan gula darahnya naik. Jika hal tersebut terjadi, beliau langsung menjalani pengecekan gula darah. Sepertinya rutinitas-rutinitas tersebut mudah untuk dijalani tetapi terkadang beliau mengalami kejenuhan, seperti ingin bebas dalam mengkonsumsi jenis makanan dan minuman. Aktivitas lain yaitu pekerjaan terkadang menambah beban beliau dalam menjaga kesehatannya. Aktivitas pekerjaan dan pikiran yang terlalu berat akan meningkatkan glukosa dalam darah sehingga beliau harus lebih serius dalam menjaga pola makannya dan mengkonsumsi obat-obatan. Beliau memang jarang mengkonsumsi obat diabetes, beliau lebih cenderung menjaga kesehatannya tanpa bergantung dengan obat-obatan. Maka dari itu, beliau harus lebih optimal dalam menjalani larangan-larangan dan menghindari pikiran berat.
Perlu diingat bahwa Diabetes Mellitus yang kita kenal sebagai penyakit kencing manis, merupakan penyakit keturunan yang menyebabkan gangguan produksi hormon insulin, yaitu suatu zat yang bekerja sebagai petugas pengolah gula. Sebenarnya Diabetes Mellitus tidaklah menakutkan bila diketahui lebih awal, tetapi kesulitan diagnostik timbul karena Diabetes Mellitus datang tenang dan bila dibiarkan akan menghanyutkan pasien kedalam komplikasi fatal. Lebih rumit lagi Diabetes Mellitus tidak menyerang satu alat tubuh saja, tetapi berbagai komplikasi dapat diidap bersamaan dalam satu tubuh (Ranakusuma, 1982).
Miller (Soehardjono, Cokroprawiro, Adi, 2002) menyatakan bahwa penyakit ini merupakan suatu penyakit kronis, sebagaimana lazimnya penyakit kronis sering menimbulkan perasaan tidak berdaya pada diri penderitanya, suatu perasaan bahwa dirinya sudah tidak mampu lagi mengubah masa depannya. Perasaan tidak berdaya timbul karena berbagai macam sebab antara lain karena kondisi kesehatan penderita yang tidak menentu yang diwarnai dengan kesembuhan dan kekambuhan dan kemungkinan juga karena terjadinya kemunduran fisik. Hal tersebut dapat memicu timbulnya stres dalam kehidupan penderita sehingga dapat meningkatkan sakit penderita menjadi bertambah parah dan prognosis menjadi jelek.
Wilkinson G (Soeharjono, Tjokroprawiro, Margono, Tandra, 1993) dalam tulisannya mengatakan bahwa seringkali ditemui adanya gangguan psikologis dan psikiatris pada penderita diabetes mellitus dan biasanya dalam taraf ringan serta seringkali terabaikan dalam pemeriksaan rutin pada klinik diabetes. Dikatakan pula bahwa stres psikologis dan psikososial dapat memberatkan kontrol metabolit pada diabetes ataupun dapat pula merupakan presipitasi (mempercepat) bagi timbulnya diabetes mellitus. Hal tersebut terbukti dari hasil penelitian dalam Soeharjono dkk menyatakan bahwa mereka yang mempunyai kepribadian introvert menunjukkan hasil pengendalian diabetesnya yang lebih baik daripada yang ekstrovert karena mereka lebih sensitive terhadap hukuman atau hadiah yang diberikan oleh orang tua (terutama pada anak) sehingga mereka cepat mencapai pengendalian diabetes dengan baik.
Lustman dkk. (Soeharjono, Tjokroprawiro, Margono, Tandra, 1993) menemukan bahwa penderita dengan gangguan psikiatrik ternyata mengalami metabolik kontrol lebih jelek daripada penderita-penderita yang tidak mempunyai riwayat gangguan psikiatrik. Perubahan psikologis yang disebabkan oleh kontrol metabolik yang dipengaruhi oleh stres antara lain : gangguan pergerakan usus, penyerapan makanan, peredaran darah subcutan dan absorbsi insulin.
Dalam penelitian lain terlihat bahwa stres yang dialami oleh 4 orang subjek remaja penyandang DM TI terkait dengan kedisiplinan dalam melaksanakan menejemen diabetes yang meliputi pelaksanaan diet, suntik insulin, periksa darah, olah raga dan rutinitas pemerikaan kondisi kesehatan oleh tenaga medis professional. Terlihat juga adanya stress yang terkait dengan penerimaan mereka terhadap kondisi yang mereka sandang, perasaan terhadap lingkungan sekitar mereka yang tidak menyandang diabetes dan pandangan mereka terhadap masa depan terkait dengan diabetes mellitus yang mereka sandang (Tanumidjojo, Basoeki, dan Yudiarso, 2004).
Bertolak dari kenyataan bahwa perasaan stres yang dialami seseorang ternyata lebih disebabkan oleh pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan dalam menghadapi stresor kehidupan, kecenderungan berpikir seseorang baik positif maupun negatif akan membawa pengaruh terhadap penyesuaian dan kehidupan psikisnya.
Orang yang cenderung berpikir negatif, pesimis dan irasional akan lebih mudah mengalami stres daripada mereka yang cenderung berpikir positif, rasional dan optimis (Hardjana, 1994). Dengan membentuk sikap positif terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan, akan membuat seseorang melihat keadaan tersebut secara rasional, tidak mudah putus asa ataupun menghindar dari keadaan tersebut, tetapi justru akan mencari jalan keluarnya. Dengan demikian orang tersebut mempunyai mental yang kuat, yang akan membantunya dalam menghadapi stresor kehidupan (Chaeruni, 1995).
Penelitian Cridder dkk (Chaeruni, 1995) menemukan bahwa dengan memusatkan perhatian pada sisi positif dari suatu keadaan yang sedang dihadapi, akan membuat seseorang menjadi lebih mampu mempertahankan emosi positifnya dan mencegah emosi negatif serta membantu dalam menghadapi situasi yang mengancam dan menimbulkan stres.
Bila stres terus berlanjut pada penderita Diabetes Mellitus akan menimbulkan perubahan-perubahan hemodinamik berupa rasa gelisah, hipertensi, gangguan metabolisme glukosa dan dyslipidemia (Jatno, 1995).
Penyandang diabetes memang dituntut untuk melaksanakan pelbagai rutinitas yang berkaitan dengan pengaturan makan, penyuntikan insulin setiap hari dan pengontrolan glukosa darah. Maka, bila seseorang telah menyandang Diabetes Mellitus akan terjadi perubahan-perubahan pada rutinitis kehidupannya, apalagi apabila sudah dialami dalam waktu cukup lama, biasanya perubahan-perubahan tersebut akan lebih dirasakan. Dalam menghadapi perubahan tersebut, setiap individu akan berespons dan mempunyai persepsi yang berbeda-beda tergantung pada kepribadian dan ketahanan diri terhadap stres, konsep diri dan citra diri, serta penghayatan terhadap menjalani penyakit tersebut, misalnya ada yang merasa marah karena merasa tidak beruntung sehingga cenderung menyalahkan hal-hal atau orang lain disekitarnya atau menyesali nasibnya mengalami Diabetes Mellitus, adapula yang merasa bersalah pada diri sendiri, sehingga merasa sedih dan merasa masa depannya suram. Respon-respon tersebut merupakan beberapa ciri dari seseorang yang memiliki penilaian terhadap diri sendiri yang buruk, penerimaan diri sendiri pun menjadi negatif. Di lain pihak banyak pula individu yang dapat menerima kenyataan bahwa Diabetes Mellitus yang dialami sebetulnya tidak berbahaya, namun tetap harus dihadapi agar tetap hidup lebih nyaman.
Hjelle dan Ziegler (Izzaty, 1996) menyatakan bahwa toleransi terhadap stres yang tinggi merupakan salah satu ciri dari individu yang mampu menerima dirinya. Penerimaan diri ini terbentuk karena individu yang bersangkutan dapat mengenal dirinya dengan baik. Hurlock mengatakan bahwa penerimaan diri inilah yang membuat perilaku individu menjadi well-adjusted yang pada akhirnya memiliki daya tahan yang tinggi terhadap stres (Izzaty, 1996).
Penelitian Tanumidjojo, Basoeki danYudiarso dikatakan bahwa subjek dengan kepribadian yang puas dengan diri sendiri, mudah dituntun, namun memiliki fungsi ego yang lemah dan cenderung menyerah terhadap tekanan, cenderung mengalami stres yang terkait dengan penerimaan diri. Subjek dengan kepribadian yang cemas akan diri sendiri, mudah dituntun, memiliki ego yang cukup kuat namun cenderung menghindar dari tekanan juga mengalami stres yang terkait dengan penerimaan diri (Tanumidjojo, Basoeki, dan Yudiarso, 2004).
Sartain (Andromeda. 2006) mendefinisikan penerimaan diri sebagai kesadaran seseorang untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan memahami dirinya seperti apa adanya. Individu yang memiliki penerimaan diri berarti telah menjalani proses yang menghantarkan dirinya pada pengetahuan dan pemahaman tentang dirinya sehingga dapat menerima dirinya secara utuh dan bahagia.
Karp menambahkan bahwa berbagai masalah psikologis yang dihadapi penderita akan menimbulkan stres bagi penderita. Kehidupan yang penuh stres akan berpengaruh terhadap fluktuasi glukosa darah meskipun telah diupayakan diet, latihan fisik maupun pemakaian obat-obatan dengan secermat mungkin, oleh karena itu masalah-masalah psikologik yang dihadapi penderita diabetes mellitus akan dapat mempersulit pengendalian gula darahnya. Hal tersebut disebabkan terjadinya peningkatan hormon-hormon glucocorticoid, cathecolamine, growth hormon, glicagon dan betaendorphine (Soeharjono, Tjokroprawiro dan Adi, 2002).
Berbagai masalah di atas dapat dilihat adanya hubungan yang erat antara penerimaan diri seseorang dan kemampuan individu dalam menghadapi stressor. Kemudian timbulah assumsi bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang jelek akan mudah mengalami stress, sedangkan individu yang memiliki penerimaan diri yang baik tidak mudah untuk mengalami stres.

B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada penderita Diabetes Mellitus.
C. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya Psikologi Klinis dan Psikologi Kesehatan dengan memberikan tambahan data empiris yang teruji secara statistik, baik hipotesis tersebut terbukti ataupun tidak.
Secara praktis penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait seperti masyarakat ataupun keluarga yang mengalami Diabetes Mellitus dalam memandang penyakitnya dan membantu tenaga ahli di bidang kesehatan di dalam memberikan treatment kepada penyandang Diabetes Mellitus.

D. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian replikasi dari penelitiaan-penelitian yang terdahulu karena adanya tingkat kesamaan pada salah satu variabelnya. Adapun penelitian-penelitian yang akan digunakan penulis sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini antara lain sebagai berikut:
Penelitian sebelumnya “ Hubungan Keasertifan dengan Penerimaan Diri Atas Kecacatan yang Disandang pada Para Penyandang Cacat Tubuh di Pusat Rehabilitasi Penderita Cacat Tubuh (PRPCT) Prof. Dr. Soeharso Surakarta “ telah dilakukan oleh Dwiyani Ratnawati (1990). Penelitian ini menggunakan subjek penyandang cacat tubuh usia remaja sampai dewasa awal yang bertempat di PRPCT Prof.Soeharso Surakarta, dengan hasil semakin tinggi tingkat keasertifan akan semakin tinggi pula penerimaan diri atas kecacatan yang disandang dan dari analisis data selanjutnya menunjukkan bahwa ada perbedaan penerimaan diri atas kecacatan yang disandang antara laki-laki dengan wanita dengan mengendalikan tingkat keasertifan. Hal ini berarti bahwa laki-laki menunjukkan penerimaan diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Skala yang digunakan adalah skala keasertifan dan skala penerimaan diri.
Penelitian lain dilakukan oleh Atmini Restu Lestari (1994) dengan judul “Tingkat Stres Pada Penderita Penyakit Jantung Iskemik dan Non Iskemik”. Subjek dalam penelitian ini yaitu penderita penyakit jantung, sedang dirawat atau berobat di RS Jantung Harapan Kita Jakarta, dengan hasil kelompok penderita jantung iskemik mempunyai tingkat stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok penderita penyakit jantung non iskemik. Penelitian ini menggunakan teknik analisa t-test karena yang akan dianalisis adalah pebedaan reratanya saja. Skala yang digunakan adlah skala stres, dokumentasi dan wawancara.
Penelitian lain seperti “Hubungan antara Berpikir Positif dan Harga Diri dengan Daya Tahan terhadap Stres pada Remaja di SMA N 1 Cirebon” telah dilakukan oleh Chaeruni (1995). Penelitian ini menggunakan subjek siswa SMA N I Cirebon yang berusia 16-18 tahun, dengan hasil semakin tinggi kecenderungan berpikir positif dan harga diri maka akan semakin tinggi pula daya tahan terhadap stres. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda. Skala yang digunakan adalah skala berpikir positif, skala harga diri dan skala daya tahan terhadap stres.
Perbedaan mendasar dari ketiga penelitian di atas dengan penelitian ini adalah dari skala yang digunakan, subjek, dan metode analisis datanya.

Free download Klik Disini

Teman DiskusiSkripsi.com


 

Free Affiliasi Program