Analisis Hubungan Kausalitas Granger Antara Tingkat Imbal Jasa Agregat Dengan Tingkat Pembiayaan Perbankan Syariah Dan Tingkat Kredit Perbankan Konven

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian

Seorang manusia pada umumnya tak bisa terlepas dari perilaku yang bersifat kemasyarakatan atau sosial baik dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup ataupun dalam hal bergaul, oleh karena itulah kemudian Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan sesamanya yang lain di dalam kehidupan.

Pada dasarnya, setiap manusia memiliki sikap dan perilakunya masing-masing. Sikap dan perilaku ekonomi manusia senantiasa distimulus dan didorong oleh 2 faktor utama (Rahman, 2004). Faktor pertama merupakan faktor internal yaitu motif ekonomi. Serangkaian motif bisa mendorong manusia, sebagai pelaku ekonomi, untuk melakukan tindakan ekonomi tertentu seperti motif untuk memperoleh laba (profits) dan motif untuk memperoleh pengakuan ataupun penghargaan dari masyarakat (social rewards). Faktor lainnya adalah faktor eksternal yaitu lingkungan dan habitat ekonomi yang menjadi tempat hidup seseorang atau suatu komunitas dalam melaksanakan kehidupan ekonominya.

Keberadaan manusia dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi dan motif ekonomi inilah yang kemudian melahirkan seperangkat pranata yang dapat memudahkannya, diantaranya adalah hadirnya lembaga intermediasi keuangan yaitu instirusi atau lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat yang menabung atau kelebihan dana dan sebaliknya melakukan peminjaman kepada mereka yang membutuhkan (Mishkin, 2001). Lembaga intermediasi keuangan yang paling umum dan sering dipergunakan jasanya oleh masyarakat hingga saat ini adalah perbankan.

Bank sendiri menurut UU No. 7 tahun 1992 adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Landasan hukum sistem perbankan di Indonesia mula-mula adalah UU No. 11 tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia dan PP No.1 tahun 1955 tentang pengawasan terhadap urusan kredit yang diumumkan dalam lembaran negara No.2 tahun 1955.

Kebijakan perbankan sebelum 1 juni 1983 ditandai oleh pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia yang dimaksudkan untuk memungkinkan perbankan memberikan kredit dengan unsur subsidi yang besar kepada masyarakat hal ini ternyata mempunyai pengaruh inflatoir terhadap perkembangan moneter, yang akhirnya memberi tekanan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sehingga untuk mengatasi dampak negatif ini pemerintah mengeluarkan kebijakan 1 juni 1983[1]

Upaya membangun sektor keuangan dilanjutkan dengan dikeluarkannnya paket kebijakan 29 januari 1990 yang menyempurnakan sistem perkreditan yang semula mengandalkan kredit likuiditas Bank Indonesia. Sejalan dengan perkembangan perekonomian Indonesia dimana jumlah bank bertambah dengan bermacam-macam pola pelayanan yang ditawarkan bank maka keluarlah UU no.7 tahun 1992 tentang perbankan yang turut pula menyisipkan bank dengan kategori bagi hasil.

Sejak awal kelahirannya hingga sekarang bank syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam Modern: neorevivalis dan modernis, tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini, tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir

Berdirinya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada awal periode 1980-an bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki..

Pada praktiknya perkembangan bank syariah dipelopori oleh Pakistan, pada tahun 1979 sistem bunga dihapuskan, pada tahun 1985 seluruh sistem perbankan Pakistan dikonversi dengan sistem yang baru, yaitu sistem perbankan syariah. Sedangkan di Mesir bank syariah pertama yang didirikan adalah Faisal Islamic Bank pada tahun 1978, sementara di Malaysia, Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) yang didirikan tahun 1983 merupakan bank syariah pertama di Asia Tenggara.

Di Indonesia sendiri bank syariah pertama kali didirikan pada tahun 1992 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pada awal berdirinya keberadaan bank syariah belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Kemudian setelah UU No.7/1992 diganti dengan UU No.10 tahun 1998 yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah, maka bank syariah mulai menunjukkan perkembangannya. Undang-undang ini pula memberikan arahan bagi bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau mengkonversikan diri menjadi bank syariah.

Perkembangan perbankan syariah dapat kita lihat dari banyaknya pertambahan jumlah bank dengan landasan operasi syariah dimana tahun 2000 baru ada 2 bank umum; 3 unit usaha syariah pada bank umum konvensional yang tersebar; serta 79 BPRS. Diakhir tahun 2004 jumlah bank syariah telah mencapai delapan belas buah.dan BPRS sebanyak 88 buah

File Selengkapnya.....

Teman DiskusiSkripsi.com


 

Free Affiliasi Program