APLIKASI METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS UNTUK MENENTUKAN LETAK AKUMULASI REMBESAN POLUTAN SAMPAH DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) PAKUSARI, JEMBER

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aktivitas manusia dalam memanfaatkan alam selalu meninggalkan sisa yang dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga diperlakukan sebagai barang buangan, yaitu sampah dan limbah (Widyatmoko dan Sintorini, 2002). Sampah adalah buangan berupa padat merupakan polutan umum yang dapat menyebabkan turunnya nilai estetika lingkungan, membawa berbagai jenis penyakit, menurunkan sumber daya, menimbulkan polusi, menyumbat saluran air dan berbagai akibat negatif lainnya (Bahar, 1985). Sampah merupakan masalah bagi semua orang, sehingga manusia menyingkirkan sampah sejauh mungkin dari aktivitas manusia. Di kota-kota besar untuk menjaga kebersihan sering kali menyingkirkan sampah ke tempat yang jauh dari pemukiman atau yang biasa disebut Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Di negara berkembang, sampah umumnya ditampung pada lokasi pembuangan dengan menggunakan sistem Sanitary Landfill (Johanis, 2002). Sanitary Landfill adalah sistem pengelolaan sampah yang mengembangkan lahan cekungan dengan syarat tertentu yaitu jenis dan porositas tanah, dimana pada dasar cekungan dilapisi geotekstil untuk menahan peresapan lindi pada tanah serta dilengkapi dengan saluran lindi. TPA di Indonesia, sesungguhnya tidak menerapkan sistem Sanitary Landfill, namun paling bagus menggunakan metode Open Dumping, yaitu sampah ditumpuk menggunung tanpa ada lapisan geotekstil dan saluran lindi. Cara penimbunan seperti ini dianggap murah dan mudah. Karena kelihatanya mudah, sehingga penimbunannya tidak direncanakan dengan baik dan dilakukan dengan sembarangan sehingga tidak mengindahkan Sanitary Landfill yang seharusnya menjadi persyaratan mutlak sebuah TPA (Suganda, 2004). Hal ini dikarenakan TPA di Indonesia tidak menerapkan aturan-aturan yang berlaku, sehingga sistem Sanitary Landfill akhirnya berubah menjadi sistem Open Dumping. Akibatnya adalah terjadi pencemaran air tanah dan udara di sekitar TPA (Widyatmoko dan Sintorini, 2002).

Masalah sampah sebenarnya sudah lama menjadi masalah di kota-kota besar di Indonesia, masalah tersebut muncul karena terbatasnya lahan kosong yang dapat dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir, sementara produksi sampah tiap hari terus berlangsung (Suganda, 2004). Sampah yang dibuang pada lokasi TPA akan mengalami pembusukan terutama pada sampah basah yang umumnya terdiri dari sampah organik, apalagi di negara Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai iklim panas dan kelembaban tinggi. Hal ini merupakan faktor pemercepat terjadinya reaksi kimia, sehingga sampah lebih cepat membusuk jika dibandingkan dengan negara lain (Widyatmoko dan Sintorini, 2002). Air yang ada pada sampah hasil pembusukan umumnya mengandung bahan kimia, bakteri dan kotoran lainnya yang dapat merembes ke dalam tanah. Jika ada air hujan yang melewati sampah ini maka akan tercemar oleh polutan tersebut, sehingga hal ini dapat menimbulkan pencemaran air tanah baik yang berasal dari rembesan air sampah maupun oleh sampah itu sendiri (Bahar, 1985).

Air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan manusia. Pada zaman dahulu, kehidupan berada pada daerah yang dekat dengan air, sungai, mata air atau danau untuk mendapatkan sumber air. Dengan bertambahnya populasi dan kemajuan industri menyebabkan kebutuhan air akan sangat meningkat, sehingga banyak penduduk yang memanfaatkan air tanah (Magetsari dan Azis, 1995). Air tanah merupakan sumber air tawar yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan konsumsi manusia, hewan serta tanaman yang jumlahnya mencapai 34,88% dari seluruh air yang ada di bumi (Sutikto, 1999). Saat ini karena semakin menipisnya lahan pemukiman, semakin banyak penduduk di kota-kota besar yang tinggal di daerah sekitar TPA, beberapa diantaranya memanfaatkan air sumur sebagai sumber air minum. Hal ini dikarenakan kebutuhan air bersih di daerah sekitar TPA biasanya tidak terjangkau pelayanan yang disediakan oleh pemerintah melalui Perusahaan Air Minum (PAM) (Suganda, 2004). Jika terjadi pencemaran air tanah akibat meresapnya air lindi yang berasal dari pembusukan sampah, maka hal ini bisa menjadi penghambat bagi kelangsungan hidup penduduk sekitar TPA tersebut. Oleh karena itu perlu adanya tindakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pakusari merupakan salah satu contoh TPA yang menerapkan sistem Open Dumping. TPA ini terletak di desa Kertosari Kecamatan Pakusari Kabupaten Jember. TPA ini merupakan satu-satunya TPA yang berada di dalam kota di Kabupaten Jember. Layanan TPA ini mencakup seluruh sampah yang ada di dalam kota dan sekitarnya. Sampah yang dibuang di tempat ini kebanyakan adalah sampah organik yang berasal dari pasar-pasar. Hal ini menyebabkan sampah lebih cepat membusuk dan menghasilkan polutan yang dapat mencemari air tanah. Untuk mengetahui tingkat pencemaran, TPA ini dilengkapi dengan sumur monitoring yang berjarak 200 m di bagian selatan dari lokasi pembuangan. Selain itu TPA ini juga dilengkapi dengan kolam monitoring, dengan memanfaatkan ikan untuk mengetahui tingkat pencemaran. Pada daerah ini diduga terdapat rembesan air lindi, sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui letak akumulasi rembesan air lindi yang merupakan polutan sampah yang dapat mencemari air tanah di daerah sekitar TPA tersebut.

Lindi atau polutan sampah diketahui mempunyai konduktivitas yang berbeda dengan air tanah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan beberapa peneliti sebelumnya, menunjukkan bahwa polutan ini mempunyai konduktivitas yang lebih tinggi dari pada air tanah. Dengan demikian nilai resistivitas polutan ini lebih rendah dari pada air tanah. Menurut Loke (1997) resistivitas air bersih (fresh) adalah antara 10-100 Ώm. Berdasarkan sifat inilah bisa dilakukan penelitian untuk mengetahui letak akumulasi rembesan polutan cair di sekitar TPA dengan memanfaatkan perbedaan resistivitas tersebut. Metode yang biasa digunakan adalah metode geolistrik resistivitas.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa metode geolistrik bisa memetakan pencemaran air tanah, seperti penelitian yang dilakukan Sulistijo, dkk., (2001) berhasil memetakan arah penyebaran pencemaran air tanah di sekitar TPA Pasir Impun di Kabupaten Bandung, Grandis dan Yudistira (2002) melakukan penelitian di bekas TPA Pasir Impun Bandung dan berhasil memperkirakan penyebaran kontaminan cair dalam tanah yang diasosiasikan sebagai fluida konduktif dengan anomali konduktif (resistivitas kurang dari 10 Ωm) menunjukkan akumulasi rembesan lindi yang dapat mencemari air tanah di sekitar daerah tersebut. Serta penelitian yang dilakukan oleh Johanis (2002) dengan menggunakan metode geolistrik resistivitas konfigurasi Wenner-Schlumberger dengan mengambil tiga lintasan sebagai sampel, yaitu lintasan A terletak pada timbunan sampah, lintasan B berada antara timbunan sampah dan tanah, lintasan C berada di luar timbunan sampah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat resistivitas rendah pada ketiga lintasan tersebut yang diduga merupakan daerah yang tercemar polutan cair yang dihasilkan oleh pembusukan sampah.

Metode geolistrik terbukti merupakan metode sederhana yang terkenal dalam pendeteksian kualitas air tanah. Metode ini terbukti telah memecahkan banyak masalah tentang air tanah (Kalinski, dkk., (1993) dalam Lanskaripour (2003)). Misalnya: pemetaan pencemaran air tanah oleh benzena (minyak tanah) pada suatu area di Utah AS dengan menggunakan konfigurasi elektroda Wenner (Benson, dkk., 1997), mendeteksi aliran air tanah yang mengandung polutan pada daratan Seri Petaling Malaysia (Muktar, dkk., 2002) dan mendeteksi kualitas air tanah di daerah Korin, bagian tenggara Iran dengan menggunakan metode geolistrik Vertical Electric Sounding (VES) (Lanshkaripour, 2003).

1.2 Rumusan Masalah

Metode Geolistrik resistivitas merupakan salah satu metode geofisika yang memanfaatkan variasi resistivitas yang dapat digunakan untuk mendeteksi kontaminan cair dalam tanah yang sering diasosiasikan sebagai fluida konduktif. Di sekitar TPA Pakusari Kabupaten Jember diduga terdapat akumulasi rembesan lindi (leachate) yang dapat mencemari air tanah. Hipotesa dari pengelola TPA Pakusari menduga lindi mengalir ke selatan. Penelitian ini untuk membuktikan hipotesa tersebut. Permasalahan yang muncul adalah:

1. Dimanakah letak akumulasi rembesan lindi yang dihasilkan dari pembusukan sampah TPA Pakusari

2. Bagaimana pola distribuasi kualitatif dari rembesan lindi ini.

1.3 Batasan Masalah

Karena keterbatasan biaya, waktu, sarana dan kemampuan peneliti, maka penelitian dibatasi sebagai berikut:

1. Tempat penelitian adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pakusari Kabupaten Jember.

2. Penggunakan metode hanya pada metode geolistrik resistivitas konfigurasi Wenner.

3. Pengolahan data menggunakan metode optimasi least-square non-linier dengan inversi 2-D yang ada pada software Res2Dinv.

1.4 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui keberadaan dan pola distribusi dari akumulasi rembesan air lindi (leachate) di TPA Pakusari.

1.5 Manfaat

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, hasil dari penelitian ini diharapkan:

1. Mampu memberikan sumbangan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan terutama geofisika dalam memecahkan berbagai permasalahan tentang air tanah sebagai sumber air.

2. Bermanfaat dari sudut pandang peringatan awal dalam upaya memantau pencemaran air tanah dangkal dan dapat menjadi bahan pertimbangan yang berguna dalam pengelolaan dan penentuan lokasi TPA.

File Selengkapnya.....

Teman DiskusiSkripsi.com


 

Free Affiliasi Program