Pengaruh Neoplatonisme dalam Wahdatul Wujud Ibnu 'Arabi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam Islam, sufisme memberi makna isoteris yang melandasi formalisme. Mengkaji tasawuf berarti mempelajari dimensi-dimensi isoterik dari sebuah bangunan kepercayaan, sehingga sebuah agama (Islam) dapat dipandang secara utuh dan universal, bukan sekedar dogma-dogma yang mengukung tanpa makna. Apabila Islam dipisahkan dari aspek ini, maka hanya menjadi kerangka formal. Ibaratnya apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging dan kemudian dihidupkan sesungguhnya keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan.
Tasawuf seperti halnya sebuah mata air yang mengalir terus menerus yang berasal dari alam dan menjadi sumber untuk memenuhi segala kebutuhan hidup sekaligus sebagai obyek pengkajian dan penelitian yang tidak akan pernah berakhir, meskipun pada setiap masa, tuntutan yang ditujukan padanya nampak dalam kerangka yang berbeda-beda. Dalam ranah aktivitas intelektual, pembahasan tasawuf dapat dikatakan cukup meriah dari waktu ke waktu. Bahkan saat ini pembicaraan mengenai nilai-nilai spiritual dianggap sangat urgen dan mendesak untuk dikaji. Hal ini mungkin suatu keniscayaan yang terjadi sebagai reaksi dari arus perkembangan zaman, yang membawa manusia pada peradaban yang dirasa semakin kehilangan orientasi keilahiannya.
Memang, dalam satu sisi manusia boleh bangga, usahanya yang terus menerus untuk mencapai kesempurnaan alamiahnya dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan sudah pada titik keberhasilan. Dunia modern menciptakan keajaiban-keajaiban yang mencengangkan. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, kemudahan-kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan dapat tercapai. Dalam era globasisasi ini terdapat – meminjam istilahnya Dimitri Mahayana – ledakan-ledakan yang luar biasa yaitu : ledakan besar komunikasi (communication big bang), ledakan besar informasi (information big bang), ledakan besar pengetahuan (knowledge big bang) dan ledakan besar manajemen (management big bang). Ledakan di sini dalam arti suatu loncatan kemajuan yang amat besar yang berhasil diciptakan oleh manusia. Big bang-big bang inilah yang mengantarkan manusia pada puncak kesempurnaan peradabannya.
Pada era tanpa batas ini, kita bisa menguji keberhasilan manusia dengan melontarkan satu pertanyaan, apa yang tidak dapat diperbuat manusia saat ini? Kita bisa menengok ke belakang ke jaman dahulu kala untuk menjawab pertanyaan itu sebelum kemudian membandingkannya dengan saat ini. Beberapa abad yang lalu dapat dibayangkan betapa manusia hidup dalam ruang yang sangat terbatas. Dunia terasa amat luas tanpa terjangkau oleh pikiran maupun indera. Manusia tidak mengenal apa-apa kecuali lingkungan yang sangat sempit, masyarakat yang satu, yaitu yang melahirkannya sekaligus tempat kematiannya. Kini jaman telah berubah, sejak terjadinya gelombang pencerahan pada abad 18 dan revolusi industri di Inggris, manusia mulai menggunakan akalnya dan muncullah temuan-temuan teknologi yang merubah seluruh sendi kehidupan.
Yang mengagumkan adalah manusia sudah mampu membuat miniatur dunia dengan segala perniknya dalam sebuah layar komputer dan internet. Internet merupakan sebuah lambang kesempurnaan kehidupan manusia. Di dalamnya mampu mencakup segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhan manusia mulai dari hiburan, informasi, komunikasi dan bisnis.
Internet membuat dunia begitu kecil, begitu global menuju arah yang disamping positif juga negatif. Bahkan amat mengerikan yakni kebebasan tanpa batas. Dunia yang global memunculkan persoalan-persoalan yang rumit jika dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat kodrati seperti etika moral dan spiritual.
Itu hanyalah sekelumit gambaran tentang bagaimana manusia dengan memanfaatkan akal pikirannya, disatu sisi mencapai keberhasilan dan sekaligus dalam waktu yang sama secara perlahan manusia kehilangan dimensi keilahiannya. Menurut Fromm dalam bukunya Revolution of Hope, masyarakat tidak lebih dari sebuah mesin otomatis dan manusia sebagai onderdil-onderdilnya menjadi bagian dari mesin besar peradaban dan teknologi. Pada mulanya manusia yang menciptakan teknologi demi kebutuhan-kebutuhannya tetapi kemudian manusialah yang akhirnya menjadi budak dari teknologi itu sendiri. Muncullah suatu fenomena yang tidak dapat dipungkiri oleh setiap manusia modern yakni kekosongan spiritual.
Jika dulu Aristoteles mengklasifikasikan hal-hal dalam 10 kategori yaitu substansi, ruang, waktu, kualitas, kuantitas dan lain-lain kini manusia modern mereduksi dirinya menjadi satu kategori saja yaitu kuantitas. Nilai-nilai yang dianut manusia dalam menentukan keberhasilannya diukur dari hal-hal yang empirik, material dan bersifat biologis. Lalu bagaimana peran agama dalam menghadapi krisis spiritual dunia modern? Kenyataannya adalah meskipun agama tetap dipegang akan tetapi hanya menjadi kerangka formalitas yang tidak mempunyai makna dan kekuatan untuk mengatur roda kehidupan.
Adalah penting untuk menyadari bahwa spiritualitas tidak hanya sekedar bagian dari relitas manusia, tetapi spiritualitas adalah keseluruhan makna manusia. Keseluruhan integral ini adalah batu fondasi dari kesadaran diri, dan mencakup semua aspek khusus (manusia). Ia menjadi terlihat di dalam apa-apa yang kita ketahui dan pahami, di dalam bagaimana kita bertindak, berpikir, dan merasakan. Singkatnya kita adalah makhluk spiritual dan keseluruhan dari apa yang disebut dengan dunia material diruhanikan. Kita harus hati-hati terhadap pemikiran yang menganggap spiritualitas hanya berhubungan dengan salah satu fakultas dalam diri kita, atau sebagai sesuatu yang sepenuhnya berada di luar dunia ini, yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Kita juga harus berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam perangkap intelektual yang terlalu mudah memisahkan akal dari intuisi, kepala dari hati. Ini jauh dari realitas yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi. Bagi dia, setiap realitas dunia, atau setiap aspek dari dunia, hanya dapat dipahami dengan tepat melalui asal-usul spiritualnya. Ia menghubungkan setiap realitas keduniawian dengan prinsip ilahiahnya, dan karena itu menempatkan segala sesuatu di tempat yang sebenarnya.
Jika tasawuf memberikan makna isoterik bagi formalitas, dengan metode-metode mujahadah, musyahadah dan intuisi, lain halnya dengan filsafat yang menawarkan akal, argumentasi dan logika untuk mencapai tujuannya. Sekilas keduanya seperti dua hal yang berlawanan dan tidak mungkin bertemu. Tetapi ketika kita menyakini bahwa kebenaran adalah satu seperti halnya kita beriman bahwa Tuhan adalah satu, maka pertentangan itu tidak ada. Baik tasawuf maupun filsafat hanya sebagai instrumen untuk mencapai kebenaran. Menurut Charis Zubair, untuk menangkap kebenaran dari realitas, alat-alat yang digunakan dari yang terendah adalah indera, naluri, akal rasional, dan intuisi. Jika kita menggunakan secara bersamaan maka akan diperoleh kebenaran hakiki yang mencakup dimensi transenden dan imanen. Dalam hal ini tasawuf dan filsafat adalah frame bagi instrumen-instrumen tersebut.
Dengan demikian pengkajian terhadap nilai-nilai spiritual sekaligus filosofis diharapkan mampu menghidupkan kembali eksistensi kemanusiaan kita yang nyaris terlupakan. Sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan rohani di tengah peradaban moderen yang gersang. Selain itu dimaksudkan untuk melestarikan pemikiran-pemikiran paratokoh islam dengan mencari sisi-sisi positif yang mungkin untuk dipertimbangkan dalam menghadapi zaman global.
Kegelisahan merupakan ciri universal manusia di sepanjang masa dan di berbagai tingkatan, tetapi semakin kentara di dunia modern ini pada mereka yang justru serba kecukupan. Sebenarnya kegelisahan tak perlu ditafsirkan negatif, karena pada dirinya ia tidaklah buruk. Ia malah menunjukkan kepada kita rahasia terdalam eksistensi kita sebagai manusia. Kegelisahan inilah yang oleh SH. Nashr disebut sebagai The Mystical Quest atau pencaharian spiritual. Pencaharian mistik adalah wujud kerinduan sang jiwa untuk kembali ke tempat asalnya, yaitu Allah SWT. Manusia tidak akan penah berhenti mencari – dan karena itu akan selalu gelisah- sebelum mencapai apa yang dirindukannya selama ini, yaitu prtemuan dengan Tuhan atau kesatuan mistik (mystical union) dalam istilah yang dipakai para sufi.
Hal pokok yang paling mendasar dalam agama wahyu adalah ajaran tauhidnya, yaitu pemahaman tentang keesaan Tuhan. Ajaran tauhid ini merupakan suatu jawaban yang diberikan Tuhan kepada manusia atas segala upayanya selama berabad-abad kehidupannya dalam rangka pencarian terhadap realitas Tuhan. Namun pada dasarnya manusia diciptakan dengan segenap fitrah yang dimilikinya, mempunyai agama hakiki sejak lahir, yaitu agama Tauhid.
Dalam suatu masa tertentu, kadang seorang manusia terlahir sebagai seorang terpilih yang mempunyai kemampuan melampaui manusia lain dalam hal menggunakan potensi kemanusiaannya dalam melihat realitas obyektif serta melahirkan cara pandang independent dan uviversal yang sama sekali baru dan mempengaruhi jamannya juga jaman sesudahnya. Tokoh-tokoh ini mencapai derajat kemanusiaan sejati tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini terjadi pula dalam hal pemahaman terhadap realitas tauhid. Salah satu eksponen yang paling menonjol dalam fenomena ini adalah pemikiran Syaikh Akbar Ibnu ‘Arabi dengan gagasan tentang tauhidnya yang terkenal : Wahdatul wujud.
Menurut A.E. Affifi, wahdatul wujud adalah satu bentuk pantheisme, yang mengasumsikan bahwa Tuhan itu sesuatu yang absolut, yakni wujud yang tidak terbatas dan abadi yang merupakan sumber dari landasan puncak dari wujud kini, yang lalu dan yang akan datang yang lambat laun menjadi suatu bentuk akosmisme yang menyatakan bahwa Dunia Fenomena itu hanyalah semacam bayang-bayang yang lewat dari realitas yang terletak dibelakangnya. Segala sesuatu yang terbatas dan temporal hanyalah ilusi dan tidak riel.
Wahdatul wujud merupakan doktrin yang paling populer dalam sejarah perdebatan dunia sufistik. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ajaran yang menyesatkan dan sebagian lagi menilainya sebagai suatu produk yang berasal dari ketajaman pemikiran dan keagungan hati. Bahkan sampai saat ini boleh dibilang polemik wacana tentang Ibnu ‘Arabi dan wahdatul wujudnya masih berlangsung.
Suatu lembaga dakwah yang berdiri di Saudi Arabia baru-baru ini menerbitkan buletin yang disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia dengan tujuan mempropagandakan misi-misinya, yang salah satu buletinnya memberikan penilaian yang negatif terhadap sufisme dan ajaran tasawuf. Dan pada buletin yang lain menyatakan dilarangnya paham penyatuan agama (wahdatul adyan) yang notabene berakar dari faham wahdatul wujud.
Dilain fihak, di Barat khususnya di kalangan intelektual, semangat untuk melakukan penelitian-penelitian terhadap sufisme khususnya dalam hal ini Ibnu’Arabi terus menyala. Sebut saja misalnya Henry Corbin, Stephen Hirtenstein atau William Chittick yang malah mengkhususkan dirinya menelaah filsafat Ibnu ‘Arabi hingga sudah menghasilkan belasan buku tentang tokoh satu ini. Hal ini tentu tidak menafikan bahwa banyak juga sarjana timur yang menulis tentang Ibnu ‘Arabi.
Kajian tentang doktrin wahdatul wujud menjadi penting pula, mengingat pengaruhnya yang luar biasa dalam sejarah pemikiran sufi hampir di seluruh pelosok negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia. Pengaruh doktrin ini terus membekas secara mendalam dan berkembang dengan subur sampai sekarang pada pemikiran mistik Islam kontemporer. Minat terhadap kajian pemikiran Ibnu ‘Arabi semakin meningkat. Sikap simpati terhadap sufi dari Andalusia ini ditunjukkan pula oleh sekelompok sarjana yang mengaguminya dengan mendirikan suatu organisasi bernama The Muhyidin Ibn ‘Arabi Society. Organisasi yang didirikan pada 1977 dan berpusat di Oxford itu, sejak 1982 menerbitkan sebuah jurnal yang diberi nama Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society. Organisasi ini secara berkala mengadakan pertemuan umum tahunan dan simposium tahunan di tempat-tempat berbeda. Dalam pertemuan dan simposium itu para sarjana menyajikan makalah tentang berbagai aspek pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Di Indonesia sendiri, polemik juga tidak dapat terelakkan. Disamping penulisan secara obyektif dan netral, ada juga yang bersifat menolak dan bahkan mengunggulkan. Sebuah buku karangan Drs. H. Abdul Qadir Jailani berjudul Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf mengatakan bahwa ajaran yang disebarluaskan guru-guru sufi adalah ajaran sesat yang berasal dari agama kuno, yaitu Hindu, yang salah satunya adalah doktrin pantheistik wahdatul wujud. Sedangkan dalam bukunya Menjemput Masa Depan, Dr. Dimitri Mahayana justru menawarkan doktrin wahdatul wujud sebagai alternatif untuk menjawab berbagai tantangan zaman, khususnya di Indonesia. Bahkan dalam buku ini Dimitri memberikan sebanyak dua belas point untuk memperkuat argumennya dalam menawarkan doktrin ini.
Berkaitan dengan antusiasme yang besar dalam mempelajari pemikiran Ibnu ‘Arabi, kajian yang tertuang dalam skripsi ini diharapkan dapat ikut serta memberikan masukan dan inventaris ilmiah pada pengkajian pemikiran sufi filosofis dan ikut serta dalam upaya pelestarian nilai-nilai tradisi spiritual Islam.
Berikut ini adalah uraian yang menunjukkan bagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh Ibnu ‘Arabi dapat menjadi alasan yang memadai untuk menjadikan Ibnu’Arabi sebagai obyek penelitian dan sumber inspirasi yang tiada habisnya bagi para pemikir, dan para peneliti.
Seperti apa yang diuraikan oleh AJ. Arberry dalam Pasang Surut Aliran Tasawuf :
Ibnu ‘Arabi menandai satu titik balik dalam sejarah tasawuf. Kendati diserang hebat-hebatan karena ajaran pantheistik (namun tatanannya lebih monistik ketimbang pantheistik) dan hujah-hujahnya yang berlebihan, tidak ada sufi setelahnya terlepas dari pengaruhnya, dan ia juga berjasa dalam semua literatur mistisisme sesudahnya. Bukanlah pada tempatnya membahas dampak bagi mistisisme Kristen zaman pertengahan, dan cukuplah disebutkan bahwa hal ini kini lazim dianggap memang terbukti. Untuk memaparkan secara sederhana ihwal pelestarian gagasan-gagasannya dalam tulisan-tulisan ke-Islaman terkemudian rasanya akan memadai kalau disebutkan bahwa penyair Parsi, Iraqi (W 688 H / 1289 M) menggubah Lama’atnya setelah mengenal ajaran Sadruddin Qonawi (W 672 H / 1273 M) dalam Fushusul Hikamnya Ibnu ‘Arabi. Perlu disebut pula bahwa Jami tidak saja merangkum sebuah ulasan tentang Al Lama’at tapi juga menyusun Lawa’ihnya untuk menandingi karya itu. Dua risalah mungil yang artistik ini, yang sama-sama berasal dari kitab berbahasa Parsi, Sawanih dari saudara Al Ghazali, Ahmad (W 517 H / 1123 M) mengandung tema khas doktrin trinitas mistik tentang cinta, pecinta, yang dicinta dan yang mereka tafsirkan dengan garis-garis teosofi Ibnu ‘Arabi.9

Dalam halaman lain buku ini juga menjelaskan : File Selengkapnya.....

Teman DiskusiSkripsi.com


 

Free Affiliasi Program