Pembelajaran Kitab Kuning dengan Arab Pegon-Tafsirya

BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah
1. Tradisi
Tradisi merupakan suatu kebiasaaan turun temurun1.
2. Arab Pegon
Arab pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang atau tanda baca atau bunyi2. Dalam kamus Jawa-Indonesia, pegon berarti tidak biasa mengucapkan.3 Kata lain dari “pegon” yaitu gundhil berarti gundhul atau polos4. Sedangkan “huruf Arab pegon” digunakan untuk menuliskan terjemahan maupun makna yang tersurat didalam kitab kuning5 dengan menggunakan bahasa tertentu.
3. Pondok Pesantren
Merupakan sebuah institusi agama Islam,yang masih bercorak tradisional selain menyelenggarakan pengajaran agama juga menyediakan asrama sebagai usaha untuk lebih memperdalam pelajaran agama.

B. Latar Belakang Masalah
Arab pegon, sebenarnya hanya merupakan ungkapan yang digunakan oleh orang Jawa, sedangkan untuk daerah Sumatera disebut dengan aksara Arab-Melayu6. Jadi, huruf Arab pegon atau disebut dengan aksara Arab-Melayu ini merupakan tulisan dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa lokal. Dikatakan bahasa lokal karena ternyata tulisan Arab pegon itu tidak hanya menggunakan Bahasa Jawa saja tapi juga dipakai di daerah Jawa barat dengan menggunakan Bahasa Sunda, di Sulawesi menggunakan Bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera menggunakan Bahasa Melayu.
Keberadaan Arab pegon di Nusantara sangat erat kaitannya dengan syi’ar Agama Islam, diduga merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh para ulama sebagai upaya menyebarkan Agama Islam7. Selain itu aksara Arab ini juga digunakan dalam kesusasteraan Indonesia. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, dalam kesusasteraan Jawa ada juga yang ditulis dengan tulisan pegon atau gundhil, penggunaan huruf ini terutama untuk kesusasteraan Jawa yang bersifat agama Islam,8 aksara Arab yang dipakai dalam Bahasa Jawa disebut dengan aksara Pegon.9Bukan hanya kesusasteraan Jawa saja tapi ternyata mencakup Nusantara karena menurut Drs. Juwairiyah Dahlan, bagi mereka yang mempelajari kesusasteraan Indonesia seringkali menggunakan aksara Arab ini, bahkan di Malaysia disebut dengan aksara Jawi.
Dengan aksara Arab ini, telah ditulis dan dikarang ratusan buku mengenai ibadah, hikayat, tasawuf, sejarah nabi-nabi dan rosul serta buku-buku roman sejarah. Pada zaman penjajahan Belanda, sebelum tulisan latin diajarkan di sekolah-sekolah, seringkali aksara Arab dipergunakan dalam surat menyurat, bahkan dikampung-kampung pada umumnya sampai zaman permulaan kemerdekaan, banyak sekali orang yang masih buta aksara latin tetapi tidak buta aksara Arab, karena mereka sekurang-kurangnya dapat membaca aksara Arab, baik untuk membaca Al-Qur’an maupun menulis surat dalam bahasa daerah dengan aksara Arab.10Menurut Prof. Dr. Denys Lombard, menjelang tahun 1880 aksara Arab masih digunakan luas untuk menuliskan Bahasa Melayu dan beberapa bahasa setempat (seperti Bahasa Aceh atau Minangkabau) 11
Beragam usaha untuk mempertahankan penggunaan aksara Arab ini, salah satunya di daerah Sulawesi Selatan tepatnya di daerah Buton. Menurut Laode Zaedi,12 aksara Arab dengan Bahasa Bugis/Walio dianggap sebagai salah satu khasanah kebudayaan daerah dan kini sedang digalakkan pelestariannya, salah satu caranya yaitu dengan mengajarkan kepada murid-murid sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga perguruan tinggi sebagai salah satu pilihan dalam kurikulum muatan lokal.
Selain itu, keberadaan penggunaan Arab pegon di pondok pesantren terutama yang masih kuat kultur masyarakatnya13sampai saat ini masih tetap dipertahankan. Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa keberhasilan dalam pencapaian berhasilnya pelajaran dan pengajaran Bahasa Arab. Penerapan penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dalam pengajarannya biasa disebut dengan Ngabsahi14atau Ngalogat15 dalam menerjemahkan dan memberi makna pada Kitab Kuning.
Pengertian umum yang beredar di kalangan pemerhati masalah pesantren adalah bahwa kitab kuning selalu dipandang sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa arab, atau berhuruf arab, sebagai produk pemikiran ulama masa lampau (as-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Dalam rumusan yang lebih rinci, definisi kitab kuning adalah kitab-kitab yang, ( a) ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun-temurun menjadi reference yang dipedomani oleh para ulama indonesia, (b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di timur tengah, dikenal dua istilah yang menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Katagori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-ashriyyah). Perbedaan pertama dari yang kedua dicirikan, antaara lain, cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakl (baca: sandangan- fatkhah, dhommah, kasroh). Dan sebutan kitab kuning pada dasarnya mengacu pada katagori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak pada formatnya (lay-out), yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti), dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu di letakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarh-karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matn-diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (quarto). Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 2 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkn salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengajian, santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai-ulama.
Hal yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning: adalah metode sorogan dan metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning dihadapan kiai-ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf). Sementara itu, pada cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai-ulama sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakl atau makna mufrodhat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa di kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi), memiliki cara membaca tersendiri yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan tata bahasa (nahw dan sharf) yang ketat.
Selain kedua metode diatas, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren, dewasa ini telah berkembang metode jalsah (diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan ditingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun sekarang pun sudah sering dilakukan oleh santri. Guna membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.16
Ilustrasi berikut ini dapat memberikan suatu gambaran yang jelas bagaimana metode ini dilaksanakan dalam praktik: File Selengkapnya.....

Teman DiskusiSkripsi.com


 

Free Affiliasi Program