BAB I
PENDAHULUAN
1
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, telah berubah
menjadi krisis ekonomi, yakni terpuruknya kegiatan ekonomi karena semakin
banyak perusahaan yang tutup, perbankan yang di likuidasi dan meningkatnya
jumlah tenaga kerja yang menganggur. Pada saat yang bersamaan kurangnya
transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga
masuknya dana luar negeri melalui sistem perbankan yang lemah mengalami
kesulitan. Penyebab dari krisis ini bukanlah karena fundamental ekonomi yang
lemah saja, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai
jumlah yang cukup besar (Tarmidi, 1999 : 1).
Akibat krisis ini, kinerja perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
banyak yang mengalami penurunan dan di khawatirkan akan banyak yang
mengalami kebangkrutan di masa yang akan datang. Kondisi ini tentu saja
membuat investor dan kreditur merasa khawatir jika perusahaan mengalami
kesulitan keuangan yang mengarah ke kebangkrutan. Tingkat kekhawatiran
investor semakin bertambah dengan munculnya peraturan pemerintah penganti
Undang-Undang (Perpu No. 1 tahun 1998) yang mengatur kepailitan. Menurut
Perpu No. 1 tersebut debitur yang terkena default (gagal bayar) dapat dipetisikan
bangkrut oleh dua kreditur saja.
Penurunan kinerja perusahaan secara terus-menerus dapat menyebabkan
terjadinya Financial Distress yaitu keadaan yang sangat sulit bahkan dapat
2
dikatakan mendekati kebangkrutan yang apabila tidak segera diselesaikan akan
berdampak besar pada perusahaan-perusahaan tersebut dengan hilangnya
kepercayaan dari para konsumen. Kebangkrutan suatu perusahaan dapat dilihat
dan diukur melalui laporan keuangan, dengan melakukan analisis terhadap
laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Analisis
laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk mengetahui posisi
keuangan perusahaan serta hasil-hasil yang telah dicapai sehubungan dengan
pemilihan strategi perusahaan yang telah dilaksanakan. Dengan melakukan
analisis laporan keuangan perusahaan maka pimpinan perusahaan dapat
mengetahui keadaan dan perkembangan finansial perusahaan serta hasil-hasil
yang telah dicapai diwaktu lampau dan diwaktu sedang berjalan. Selain itu
dengan melakukan analisis laporan keuangan diwaktu lampau, maka dapat
diketahui kelemahan-kelemahan perusahaan dan hasil yang dianggap cukup baik,
dan mengetahui potensi kebangkrutan perusahaan tersebut (M. Akhyar Adnan
dan Eha Kurnisih, 2000).
Laporan keuangan dapat dijadikan dasar untuk mengukur kesehatan suatu
perusahaan. Kesehatan suatu perusahaan akan mencerminkan kemampuan
perusahaan dalam menjalankan usahanya, distribusi aktiva, keefektifan
pengunaan aktiva, hasil usaha atau penggunaan yang dicapai, beban tetap yang
harus dibayar serta potensi kebangkrutan yang akan dialami. Oleh karena itu
rasio keuangan bermanfaat dalam memprediksi kebangkrutan bisnis untuk
periode 1 - 5 tahun sebelum bisnis tersebut benar-benar bangkrut (Nasser dan
Aryani, 2000).
3
Kemampuan dalam memprediksi kebangkrutan akan memberikan
keuntungan banyak pihak, terutama kreditur dan investor. Ketika sebuah badan
usaha mengajukan pertanyaan kebangkrutan, seringkali perusahaan kehilangan
bagian dari nominal utang dan bunganya. Bagi investor, kebangkrutan akan
mempunyai konsekuensi berkurangnya ekuitas atau bahkan hilangnya ekuitas
secara keseluruhan. Perusahaan sendiri dalam proses kebangkrutan akan
menanggung biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu dengan mengetahui
indikator kebangkrutan sejak dini, akan banyak pihak yang diselamatkan.
Dalam praktek dan dalam penelitian empiris, kesulitan keuangan sulit
untuk didefinisikan. Kesulitan keuangan itu bisa berarti mulai dari kesulitan
likuiditas (jangka pendek) yang merupakan kesulitan keuangan yang paling
ringan, sampai pernyataan kebangkrutan yang merupakan kesulitan yang paling
berat. Penelitian-penelitian empiris biasanya menggunakan pernyataan
kebangkrutan sebagai definisi kebangkrutan.
Perhatikan empat kategori semacam ini (Hanafi dan Halim, 2000 : 263) :
PENDAHULUAN
1
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, telah berubah
menjadi krisis ekonomi, yakni terpuruknya kegiatan ekonomi karena semakin
banyak perusahaan yang tutup, perbankan yang di likuidasi dan meningkatnya
jumlah tenaga kerja yang menganggur. Pada saat yang bersamaan kurangnya
transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga
masuknya dana luar negeri melalui sistem perbankan yang lemah mengalami
kesulitan. Penyebab dari krisis ini bukanlah karena fundamental ekonomi yang
lemah saja, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai
jumlah yang cukup besar (Tarmidi, 1999 : 1).
Akibat krisis ini, kinerja perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
banyak yang mengalami penurunan dan di khawatirkan akan banyak yang
mengalami kebangkrutan di masa yang akan datang. Kondisi ini tentu saja
membuat investor dan kreditur merasa khawatir jika perusahaan mengalami
kesulitan keuangan yang mengarah ke kebangkrutan. Tingkat kekhawatiran
investor semakin bertambah dengan munculnya peraturan pemerintah penganti
Undang-Undang (Perpu No. 1 tahun 1998) yang mengatur kepailitan. Menurut
Perpu No. 1 tersebut debitur yang terkena default (gagal bayar) dapat dipetisikan
bangkrut oleh dua kreditur saja.
Penurunan kinerja perusahaan secara terus-menerus dapat menyebabkan
terjadinya Financial Distress yaitu keadaan yang sangat sulit bahkan dapat
2
dikatakan mendekati kebangkrutan yang apabila tidak segera diselesaikan akan
berdampak besar pada perusahaan-perusahaan tersebut dengan hilangnya
kepercayaan dari para konsumen. Kebangkrutan suatu perusahaan dapat dilihat
dan diukur melalui laporan keuangan, dengan melakukan analisis terhadap
laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Analisis
laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk mengetahui posisi
keuangan perusahaan serta hasil-hasil yang telah dicapai sehubungan dengan
pemilihan strategi perusahaan yang telah dilaksanakan. Dengan melakukan
analisis laporan keuangan perusahaan maka pimpinan perusahaan dapat
mengetahui keadaan dan perkembangan finansial perusahaan serta hasil-hasil
yang telah dicapai diwaktu lampau dan diwaktu sedang berjalan. Selain itu
dengan melakukan analisis laporan keuangan diwaktu lampau, maka dapat
diketahui kelemahan-kelemahan perusahaan dan hasil yang dianggap cukup baik,
dan mengetahui potensi kebangkrutan perusahaan tersebut (M. Akhyar Adnan
dan Eha Kurnisih, 2000).
Laporan keuangan dapat dijadikan dasar untuk mengukur kesehatan suatu
perusahaan. Kesehatan suatu perusahaan akan mencerminkan kemampuan
perusahaan dalam menjalankan usahanya, distribusi aktiva, keefektifan
pengunaan aktiva, hasil usaha atau penggunaan yang dicapai, beban tetap yang
harus dibayar serta potensi kebangkrutan yang akan dialami. Oleh karena itu
rasio keuangan bermanfaat dalam memprediksi kebangkrutan bisnis untuk
periode 1 - 5 tahun sebelum bisnis tersebut benar-benar bangkrut (Nasser dan
Aryani, 2000).
3
Kemampuan dalam memprediksi kebangkrutan akan memberikan
keuntungan banyak pihak, terutama kreditur dan investor. Ketika sebuah badan
usaha mengajukan pertanyaan kebangkrutan, seringkali perusahaan kehilangan
bagian dari nominal utang dan bunganya. Bagi investor, kebangkrutan akan
mempunyai konsekuensi berkurangnya ekuitas atau bahkan hilangnya ekuitas
secara keseluruhan. Perusahaan sendiri dalam proses kebangkrutan akan
menanggung biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu dengan mengetahui
indikator kebangkrutan sejak dini, akan banyak pihak yang diselamatkan.
Dalam praktek dan dalam penelitian empiris, kesulitan keuangan sulit
untuk didefinisikan. Kesulitan keuangan itu bisa berarti mulai dari kesulitan
likuiditas (jangka pendek) yang merupakan kesulitan keuangan yang paling
ringan, sampai pernyataan kebangkrutan yang merupakan kesulitan yang paling
berat. Penelitian-penelitian empiris biasanya menggunakan pernyataan
kebangkrutan sebagai definisi kebangkrutan.
Perhatikan empat kategori semacam ini (Hanafi dan Halim, 2000 : 263) :