BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengamati pergumulan perkembangan media massa dengan realitas kehidupan terutama televisi dengan segala tampilannya menjadi semakin menarik. Kini televisi menjadi bagian dari kebudayaan audiovisual baru dan merupakan medium yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dan kepribadian baru masyarakat luas. Seperti kata Barnouw dalam Philip Kitley (2001: 1), selama beberapa puluh tahun, gambar-gambar dalam tabung yang diciptakan oleh pancaran cahaya elektron telah memainkan peran luar biasa dalam hidup kita. Dalam warna hidup yang lebih nyata ketimbang hidup itu sendiri, titik berpedaran menampilkan dunia; mereka memberitahu kita tentang dunia yang baik, agung, indah dan menyenangkan serta kebalikannya, menjadi lingkungan dan konteks kehidupan kita. Hal ini disebabkan oleh satelit dan pesatnya perkembangan jaringan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil dan bahkan memasuki ruang-ruang privasi seseorang. Akhirnya, kultur baru yang dibawa oleh televisi dengan sendirinya mulai tumbuh pula di masyarakat.
Begitu dekatnya televisi dengan masyarakat, mengundang banyak pihak terutama para produsen barang dan jasa atau industri manufaktur untuk memanfaatkan televisi sebagai media efektif, guna menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat, yang sekaligus bertujuan untuk memersuasi orang untuk mau membeli. Dalam teori pemasaran hal ini lebih dikenal dengan istilah periklanan.
Keterkaitan iklan dengan bidang industri manufaktur semakin kuat ketika munculnya produk-produk manufaktur dalam skala besar seperti sekarang ini. Hal ini menjadikan sebagai iklan sebagai suatu kebutuhan baru bagi mata rantai produksi, distribusi dan konsumsi komoditi. Menurut Haryanto , pendiri dan wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), dalam Warta Ekonomi (2006: 52), munculnya industri manufaktur skala besar, menjadikan bisnis televisi sangat menggiurkan dan menjanjikan. Menurut hasil survei yang dilakukan LSPP tahun 2006, adalah dana masyarakat untuk belanja iklan mencapai Rp 17 triliun dan tumbuh 30% pertahun. Dari jumlah tersebut, industri pertelevisian meraup hampir 70%-nya, dan sisanya 30% dibagi ke media lainnya. Hal ini membuktikan, bahwa televisi sebagai media periklanan merupakan medium yang paling kuat pengaruhnya dalam mempersuasi para penonton atau konsumennya, dibanding dengan media massa lainnya seperti radio, koran dan majalah.
Haryanto menambahkan, bisnis televisi tak sekedar memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga memberikan keuntungan politis. Media televisi ibarat pisau bermata ganda. Ia bisa dimanfaatkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, tetapi juga untuk memoles atau merusak citra seseorang atau golongan sesuai dengan kepentingannya. Selaras dengan pandangan Purwanti (1998: 40), perkembangan produksi-distribusi komoditi telah memunculkan sistem produksi-distribusi lainnya, yaitu produksi-distribusi makna.
Sistem produksi – distribusi makna (meaning) menjadi makna sebagai komoditi, sehingga iklan pada prinsipnya adalah menjual makna atau yang lebih populer disebut sebagai citra. Seperti komoditi lainnya yang akan dikemas semenarik mungkin agar dibeli, demikian pula halnya dengan citra di dalam iklan, harus dibungkus dengan bentuk dan bahasa yang bernas tapi mudah dipahami. Dengan demikian, pemahaman sebuah citra atau makna di dalam iklan mesti dipahami dalam konteks keberadaan iklan sebagai sebuah industri.
Berdasarkan paparan di atas, iklan adalah medium yang tidak sekedar merefleksikan realita, melainkan juga mendefinisikan realita. Makna atau citra yang muncul di dalam sebuah iklan bukanlah sesuatu yang terberikan begitu saja, tetapi hasil dari suatu cara tertentu dalam mengonstruksi realitas. Bungin (2006: 216), menegaskan, bahwa sistem teknologi telah menguasai jalan pikiran masyarakat, seperti dalam dunia pertelevisian yang menguasai pikiran-pikiran manusia dengan cara membangun teater dalam pikiran manusia (theater of mind), sebagaimana gambaran realita dalam iklan televisi.
Televisi sebagai salah satu media periklanan bukanlah sekedar saluran yang bebas dan netral, ia juga subyek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Seperti dikatakan Tony Bennett dalam Eriyanto, (2003: 36), media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya. Demikian pula, Garin Nugroho dalam Santyaputri (2002) mengatakan, televisi bukanlah sebuah ruang kosong yang hampa makna, tetapi merupakan sederet penanda atau makna (signifieds) menyangkut gaya hidup, karakter manusia, nilai kepemimpinan, hingga wajah realitas sosial politik masyarakat bangsa ini.
Mencermati berbagai penjelasan di atas, ketika iklan sebuah produk baik barang maupun jasa yang menggunakan model seorang perempuan, sudah tentu perempuan yang hadir di iklan televisi sudah lengkap dengan segala konstruksinya demi melanggengkan industri yang digarap, baik televisi muapun industri manufaktur dan jasa.
Deming dalam karyanya Television and the Women’s Culture, dalam Venny (2002: 5) menjelaskan, bahwa, televisi komersial sebenarnya tidak menginginkan perempuan sebagai perempuan, tetapi sebagai konsumen iklan. Televisi komersial menjadi bagian integral dari dunia belanja modern. Televisi modern dengan mudahnya dapat mencetak seorang perempuan yang ‘terprediksi’. Televisi tidak dapat dikatakan menampilkan kebutuhan perempuan, namun justru kebutuhan para pengiklan.
Berbagai teori menjelaskan, media massa dan perempuan adalah dua hal yang hampir selalu berkaitan. Hubungan ini sangat terasa jika kita berbicara mengenai representasi perempuan dalam media penyiaran televisi. Pada umumnya penggambaran perempuan dalam televisi diwarnai oleh streotipe dan komodifikasi alias pelaris produk. Hal tersebut bisa dicermati dari berbagai fenomena iklan komersial (yang ditayangkan televisi) banyak mengumbar sosok perempuan dari aspek kecantikan, kemolekan dan keindahan tubuh. Sementara itu peran perempuan sendiri belum beranjak dari urusan-urusan domestik, seperti mengasuh anak, mencuci, belanja, memasak, dan melayani kebutuhan suami.
Jika diperhatikan lebih jauh berbagai iklan yang melibatkan perempuan di dalamnya, maka akan terlihat bagaimana sisi iklan tersebut memberikan pencitraan bahwa perempuan tampil lebih konsumtif dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan adalah konsumen potensial, sehingga mereka menjadi sasaran empuk penawaran berbagai produk. Selama ini masih dipercaya bahwa perempuan merupakan kelompok pembelanja terbesar. Potensi ini rentan sekali dimanfaatkan oleh produsen dengan berbagai cara untuk mengekalkan ketidakadilan terhadap perempuan dengan atas nama kecantikan maupun citra ‘ibu yang baik’ sehingga muncul slogan-slogan seperti “Pilihan Ibu Bijaksana”, “Si Raja Dapur” serta “Rahasia disayang Suami”. Menurut Hastuti (2003:32), peran-peran perempuan yang ideal tersebut semata-mata didasarkan pada apa yang diinginkan oleh produsen sehingga hasil produknya laris terjual. Dengan demikian, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan masalah keadilan dan kesetaraan kelihatannya belum tersentuh oleh dunia iklan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan RI Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, dalam sebuah seminar bertema “Perempuan dan Media Massa (Obyek atau Subyek)” di Aula Centre UIN (27/4/2006), menjelaskan, fenomena publikasi perempuan pada media massa sudah pada tataran yang sudah mengkhawatirkan, karena dampak yang ditimbulkan sangat besar. Jika diperhatikan bersama publikasi kaum perempuan pada media massa perannya hanya sebagai objek yang memberikan keuntungan bagi pemilik modal, dan sangat besar kerugiannya bagi penerus bangsa ini ― khususnya perempuan. Toeti Adhitama, Redaktur Media Indonesia, dalam seminar yang sama, menambahkan, bahwa produk-produk TV dunia maupun lokal memang benar masih sering menampilkan perempuan pada stereotipe feminisme berdasarkan prasangka dan sikap subjektif yang belum tentu benar.
Dengan demikian, bahwa peran media massa yang semestinya menjadi sarana pencerdasan publik dan emansipasi perempuan, justru terus menerus mereproduksi dan melanggengkan kultur patriarki dan sekaligus mendomestikasikan dan mengabaikan perempuan.
Meskipun akhir-akhir ini pelestarian nilai-nilai patriarki dalam iklan sering mendapat kritikan dan gugatan tajam dari kelompok masyarakat yang peduli pada keadilan dan kesetaraan gender, namun kenyataannya stereotipe dan komoditisasi perempuan tersebut terus berlangsung. Perempuan tetap saja tampil dalam iklan dengan dimensinya yang stereotipe dan terkomoditisasi.
Berkaitan dengan fenomena iklan televisi yang menyangkut masalah perempuan, pada bulan Oktober 2007 ada sebuah iklan komersial di stasiun televisi TRANSTV berdurasi 25 detik yang cukup menarik untuk dianalisa, yaitu iklan Fatigon Viro. Fatigon Viro adalah suplemen penambah darah yang membantu pembentukan sel-sel darah merah. Dengan suplemen ini diharapkan tubuh bugar kembali guna menunjang segala aktivitas, seperti bunyi taglinenya “Fatigon Viro Selalu Aktif dan Segar”
Menurut Permana (2008), Brand Manager Dankos Laboratories, dalam RMEXPOSE.COM terciptanya produk ini tidak terlepas dari kepedulian terhadap aktivitas wanita yang sangat padat. Menurut dia, stamina prima harus dimiliki tubuh karena setiap hari kita dituntut untuk kerja keras dan aktivitas itu memerlukan energi yang besar. Jika semakin boros energi yang dipakai tubuh, katanya, maka dapat menurunkan vitalitas, menyebabkan kulit kusam, mudah merasa lesu dan terjadinya penuaan.
Iklan Fatigon Viro menggunakan model utama seorang perempuan yang divisualisasikan dalam berbagai peran seperti sebagai wanita yang ahli keuangan, belanja di supermarket, guru les sampai memasak di dapur. Dengan segala aktivitas itu, narator iklan menyebutnya sebagai wanita luar biasa. Guna mendukung semua aktivitas tadi, wanita aktif perlu meminum Fatigon Viro supaya tubuh selalu aktif dan segar.
Penggunaan model utama seorang perempuan dalam iklan komersial Fatigon Viro yang ditayangkan TRANSTV memunculkan pertanyaan menarik, yaitu bagaimanakah sebenarnya konstruksi realitas simbolik perempuan dalam iklan tersebut ditampilkan? Sebab sejauh ini belum ada penelitian yang mengupas dengan jelas tentang konstruksi perempuan dalam iklan tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengupasnya secara detail dengan pendekatan analisis semiotik.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penelitian ini memfokuskan pada konstruksi realitas simbolik citra perempuan dalam iklan komersial televisi Fatigon Viro.
C. Rumusan Masalah
Atas dasar fokus permasalahan di atas, masalah penelitian ini dirumuskan ke dalam sejumlah pertanyaan berikut:
1. Bagaimanakah konstruksi realitas simbolik citra perempuan dalam iklan televisi Fatigon Viro?
2. Dalam hal apa sajakah konstruksi realitas simbolik citra perempuan yang diperlihatkan dalam iklan televisi Fatigon Viro?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengamati pergumulan perkembangan media massa dengan realitas kehidupan terutama televisi dengan segala tampilannya menjadi semakin menarik. Kini televisi menjadi bagian dari kebudayaan audiovisual baru dan merupakan medium yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dan kepribadian baru masyarakat luas. Seperti kata Barnouw dalam Philip Kitley (2001: 1), selama beberapa puluh tahun, gambar-gambar dalam tabung yang diciptakan oleh pancaran cahaya elektron telah memainkan peran luar biasa dalam hidup kita. Dalam warna hidup yang lebih nyata ketimbang hidup itu sendiri, titik berpedaran menampilkan dunia; mereka memberitahu kita tentang dunia yang baik, agung, indah dan menyenangkan serta kebalikannya, menjadi lingkungan dan konteks kehidupan kita. Hal ini disebabkan oleh satelit dan pesatnya perkembangan jaringan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil dan bahkan memasuki ruang-ruang privasi seseorang. Akhirnya, kultur baru yang dibawa oleh televisi dengan sendirinya mulai tumbuh pula di masyarakat.
Begitu dekatnya televisi dengan masyarakat, mengundang banyak pihak terutama para produsen barang dan jasa atau industri manufaktur untuk memanfaatkan televisi sebagai media efektif, guna menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat, yang sekaligus bertujuan untuk memersuasi orang untuk mau membeli. Dalam teori pemasaran hal ini lebih dikenal dengan istilah periklanan.
Keterkaitan iklan dengan bidang industri manufaktur semakin kuat ketika munculnya produk-produk manufaktur dalam skala besar seperti sekarang ini. Hal ini menjadikan sebagai iklan sebagai suatu kebutuhan baru bagi mata rantai produksi, distribusi dan konsumsi komoditi. Menurut Haryanto , pendiri dan wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), dalam Warta Ekonomi (2006: 52), munculnya industri manufaktur skala besar, menjadikan bisnis televisi sangat menggiurkan dan menjanjikan. Menurut hasil survei yang dilakukan LSPP tahun 2006, adalah dana masyarakat untuk belanja iklan mencapai Rp 17 triliun dan tumbuh 30% pertahun. Dari jumlah tersebut, industri pertelevisian meraup hampir 70%-nya, dan sisanya 30% dibagi ke media lainnya. Hal ini membuktikan, bahwa televisi sebagai media periklanan merupakan medium yang paling kuat pengaruhnya dalam mempersuasi para penonton atau konsumennya, dibanding dengan media massa lainnya seperti radio, koran dan majalah.
Haryanto menambahkan, bisnis televisi tak sekedar memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga memberikan keuntungan politis. Media televisi ibarat pisau bermata ganda. Ia bisa dimanfaatkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, tetapi juga untuk memoles atau merusak citra seseorang atau golongan sesuai dengan kepentingannya. Selaras dengan pandangan Purwanti (1998: 40), perkembangan produksi-distribusi komoditi telah memunculkan sistem produksi-distribusi lainnya, yaitu produksi-distribusi makna.
Sistem produksi – distribusi makna (meaning) menjadi makna sebagai komoditi, sehingga iklan pada prinsipnya adalah menjual makna atau yang lebih populer disebut sebagai citra. Seperti komoditi lainnya yang akan dikemas semenarik mungkin agar dibeli, demikian pula halnya dengan citra di dalam iklan, harus dibungkus dengan bentuk dan bahasa yang bernas tapi mudah dipahami. Dengan demikian, pemahaman sebuah citra atau makna di dalam iklan mesti dipahami dalam konteks keberadaan iklan sebagai sebuah industri.
Berdasarkan paparan di atas, iklan adalah medium yang tidak sekedar merefleksikan realita, melainkan juga mendefinisikan realita. Makna atau citra yang muncul di dalam sebuah iklan bukanlah sesuatu yang terberikan begitu saja, tetapi hasil dari suatu cara tertentu dalam mengonstruksi realitas. Bungin (2006: 216), menegaskan, bahwa sistem teknologi telah menguasai jalan pikiran masyarakat, seperti dalam dunia pertelevisian yang menguasai pikiran-pikiran manusia dengan cara membangun teater dalam pikiran manusia (theater of mind), sebagaimana gambaran realita dalam iklan televisi.
Televisi sebagai salah satu media periklanan bukanlah sekedar saluran yang bebas dan netral, ia juga subyek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Seperti dikatakan Tony Bennett dalam Eriyanto, (2003: 36), media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya. Demikian pula, Garin Nugroho dalam Santyaputri (2002) mengatakan, televisi bukanlah sebuah ruang kosong yang hampa makna, tetapi merupakan sederet penanda atau makna (signifieds) menyangkut gaya hidup, karakter manusia, nilai kepemimpinan, hingga wajah realitas sosial politik masyarakat bangsa ini.
Mencermati berbagai penjelasan di atas, ketika iklan sebuah produk baik barang maupun jasa yang menggunakan model seorang perempuan, sudah tentu perempuan yang hadir di iklan televisi sudah lengkap dengan segala konstruksinya demi melanggengkan industri yang digarap, baik televisi muapun industri manufaktur dan jasa.
Deming dalam karyanya Television and the Women’s Culture, dalam Venny (2002: 5) menjelaskan, bahwa, televisi komersial sebenarnya tidak menginginkan perempuan sebagai perempuan, tetapi sebagai konsumen iklan. Televisi komersial menjadi bagian integral dari dunia belanja modern. Televisi modern dengan mudahnya dapat mencetak seorang perempuan yang ‘terprediksi’. Televisi tidak dapat dikatakan menampilkan kebutuhan perempuan, namun justru kebutuhan para pengiklan.
Berbagai teori menjelaskan, media massa dan perempuan adalah dua hal yang hampir selalu berkaitan. Hubungan ini sangat terasa jika kita berbicara mengenai representasi perempuan dalam media penyiaran televisi. Pada umumnya penggambaran perempuan dalam televisi diwarnai oleh streotipe dan komodifikasi alias pelaris produk. Hal tersebut bisa dicermati dari berbagai fenomena iklan komersial (yang ditayangkan televisi) banyak mengumbar sosok perempuan dari aspek kecantikan, kemolekan dan keindahan tubuh. Sementara itu peran perempuan sendiri belum beranjak dari urusan-urusan domestik, seperti mengasuh anak, mencuci, belanja, memasak, dan melayani kebutuhan suami.
Jika diperhatikan lebih jauh berbagai iklan yang melibatkan perempuan di dalamnya, maka akan terlihat bagaimana sisi iklan tersebut memberikan pencitraan bahwa perempuan tampil lebih konsumtif dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan adalah konsumen potensial, sehingga mereka menjadi sasaran empuk penawaran berbagai produk. Selama ini masih dipercaya bahwa perempuan merupakan kelompok pembelanja terbesar. Potensi ini rentan sekali dimanfaatkan oleh produsen dengan berbagai cara untuk mengekalkan ketidakadilan terhadap perempuan dengan atas nama kecantikan maupun citra ‘ibu yang baik’ sehingga muncul slogan-slogan seperti “Pilihan Ibu Bijaksana”, “Si Raja Dapur” serta “Rahasia disayang Suami”. Menurut Hastuti (2003:32), peran-peran perempuan yang ideal tersebut semata-mata didasarkan pada apa yang diinginkan oleh produsen sehingga hasil produknya laris terjual. Dengan demikian, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan masalah keadilan dan kesetaraan kelihatannya belum tersentuh oleh dunia iklan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan RI Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, dalam sebuah seminar bertema “Perempuan dan Media Massa (Obyek atau Subyek)” di Aula Centre UIN (27/4/2006), menjelaskan, fenomena publikasi perempuan pada media massa sudah pada tataran yang sudah mengkhawatirkan, karena dampak yang ditimbulkan sangat besar. Jika diperhatikan bersama publikasi kaum perempuan pada media massa perannya hanya sebagai objek yang memberikan keuntungan bagi pemilik modal, dan sangat besar kerugiannya bagi penerus bangsa ini ― khususnya perempuan. Toeti Adhitama, Redaktur Media Indonesia, dalam seminar yang sama, menambahkan, bahwa produk-produk TV dunia maupun lokal memang benar masih sering menampilkan perempuan pada stereotipe feminisme berdasarkan prasangka dan sikap subjektif yang belum tentu benar.
Dengan demikian, bahwa peran media massa yang semestinya menjadi sarana pencerdasan publik dan emansipasi perempuan, justru terus menerus mereproduksi dan melanggengkan kultur patriarki dan sekaligus mendomestikasikan dan mengabaikan perempuan.
Meskipun akhir-akhir ini pelestarian nilai-nilai patriarki dalam iklan sering mendapat kritikan dan gugatan tajam dari kelompok masyarakat yang peduli pada keadilan dan kesetaraan gender, namun kenyataannya stereotipe dan komoditisasi perempuan tersebut terus berlangsung. Perempuan tetap saja tampil dalam iklan dengan dimensinya yang stereotipe dan terkomoditisasi.
Berkaitan dengan fenomena iklan televisi yang menyangkut masalah perempuan, pada bulan Oktober 2007 ada sebuah iklan komersial di stasiun televisi TRANSTV berdurasi 25 detik yang cukup menarik untuk dianalisa, yaitu iklan Fatigon Viro. Fatigon Viro adalah suplemen penambah darah yang membantu pembentukan sel-sel darah merah. Dengan suplemen ini diharapkan tubuh bugar kembali guna menunjang segala aktivitas, seperti bunyi taglinenya “Fatigon Viro Selalu Aktif dan Segar”
Menurut Permana (2008), Brand Manager Dankos Laboratories, dalam RMEXPOSE.COM terciptanya produk ini tidak terlepas dari kepedulian terhadap aktivitas wanita yang sangat padat. Menurut dia, stamina prima harus dimiliki tubuh karena setiap hari kita dituntut untuk kerja keras dan aktivitas itu memerlukan energi yang besar. Jika semakin boros energi yang dipakai tubuh, katanya, maka dapat menurunkan vitalitas, menyebabkan kulit kusam, mudah merasa lesu dan terjadinya penuaan.
Iklan Fatigon Viro menggunakan model utama seorang perempuan yang divisualisasikan dalam berbagai peran seperti sebagai wanita yang ahli keuangan, belanja di supermarket, guru les sampai memasak di dapur. Dengan segala aktivitas itu, narator iklan menyebutnya sebagai wanita luar biasa. Guna mendukung semua aktivitas tadi, wanita aktif perlu meminum Fatigon Viro supaya tubuh selalu aktif dan segar.
Penggunaan model utama seorang perempuan dalam iklan komersial Fatigon Viro yang ditayangkan TRANSTV memunculkan pertanyaan menarik, yaitu bagaimanakah sebenarnya konstruksi realitas simbolik perempuan dalam iklan tersebut ditampilkan? Sebab sejauh ini belum ada penelitian yang mengupas dengan jelas tentang konstruksi perempuan dalam iklan tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengupasnya secara detail dengan pendekatan analisis semiotik.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penelitian ini memfokuskan pada konstruksi realitas simbolik citra perempuan dalam iklan komersial televisi Fatigon Viro.
C. Rumusan Masalah
Atas dasar fokus permasalahan di atas, masalah penelitian ini dirumuskan ke dalam sejumlah pertanyaan berikut:
1. Bagaimanakah konstruksi realitas simbolik citra perempuan dalam iklan televisi Fatigon Viro?
2. Dalam hal apa sajakah konstruksi realitas simbolik citra perempuan yang diperlihatkan dalam iklan televisi Fatigon Viro?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: