BAB I
PENDAHULUAN
Penegasan Judul
Dalam penelitian ini penulis memberi judul “KONSEP KECERDASAN EMOSI DANIEL GOLEMAN DAN RELEVANSINYA DENGAN KESEHATAN MENTAL ZAKIAH DARADJAT”
Untuk menghindari kesalahan dan demi terarahnya pembahasan, maka penulis merasa perlu untuk menegaskan istilah-istilah pokok yang terdapat dalam judul tersebut. Adapun judul yang perlu dijelaskan adalah:
“Konsep”
Diambil dari kata “concept” (Inggris) yang mempunyai arti konsep, bagan dan pengertian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengertian, pendapat, rancangan, cita-cita yang telah dipikirkan. Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gambaran ide, pengertian, pendapat, maupun gagasan Daniel Goleman tentang kecerdasan emosi dan pendapat Zakiah Daradjat tentang kesehatan mental.
“Kecerdasan Emosi”
Istilah ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada tahun 1995 dan untuk pertama kalinya dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Petersolovey dari Horvard University dan Jhon Mayer dari University of Newhampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan hidup manusia, antara lain empati, mengungkapkan, memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan mengendalikan diri. Jadi, kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, mengarahkan emosi, sehingga dapat dimenej secara proposional ketika berhadapan dengan tantangan hidup, musibah, dan perlawanan orang lain.
“Relevansi”
Relevansi berarti hubungan, kaitan. Dan yang dimaksud relevansi dalam studi ini yaitu keterkaitan konsep kecerdasan emosi Daniel Goleman dengan kesehatan mental Zakiah Daradjat.
“Kesehatan Mental”
Yaitu kesehatan berasal dari kata “sehat” yang berarti dalam keadaan fisik yang baik, bebas dari sakit. Dalam Undang-Undang RI bahwa sehat adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, mental, sosial bukan hanya dari penyakit cacat dan kelemahan. Mental (dari kata Latin mens, mentis) artinya jiwa, roh, nyawa, dan semangat. “Mental” adalah kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik dari seseorang yang tercermin dalam cita-cita, sikap, dan kepribadian. Jadi, kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan, kemampuan dan fungsi jiwanya yang berupa fikiran, perasaan, sikap, pandangan, dan keyakinan hidup.
Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dengan pesatnya, bukan hanya di bidang teknologi, informasi, kedokteran, pertanian, akan tetapi juga di bidang psikologi, yaitu tentang konsep kecerdasan manusia.
Konsep kecerdasan manusia, jika dilihat dari sejarah perkembangannya pada mulanya lahir akibat adanya berbagai tes mental yang dilakukan oleh berbagai psikolog untuk menilai manusia ke dalam berbagai tingkat kecerdasan. Diistilahkan atau lebih dikenal dengan kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient). Tes IQ adalah cara yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya angka yang dapat menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang . Jadi menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasannya.
Seiring dengan perkembangannya, tes inteligensi yang muncul pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Alferd Binet (1980), ternyata tes inteligensi memiliki kekurangan atau kelemahan. Kekurangan itulah yang melatarbelakangi munculnya teori baru dan sebagai alat untuk menyerang teori tersebut. Teori baru ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence). Menurut Daniel Goleman, EQ sama ampuhnya dengan IQ, dan bahkan lebih. Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ) bukanlah ukuran kecerdasan (Intelligence) yang sebenarnya, ternyata emosilah parameter yang paling menentukan dalam kehidupan manusia. Menurut Daniel Goleman (IQ) hanya mengembangkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, sementara 80 % lainnya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Ungkapan Goleman ini seolah menjadi jawaban bagi situasi ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah masyarakat, di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak mampu mencapai prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih rendah.
Kelebihan lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa kecerdasan emosi bukanlah kecerdasan statis yang diperoleh karena ‘warisan’ orang tua seperti IQ. Selama ini telah diketahui bahwa seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi seorang jenius. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang tua ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan ‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan ber-IQ tinggi juga. Adapun kecerdasan emosi dapat tumbuh dan berkembang seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada proses pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.
PENDAHULUAN
Penegasan Judul
Dalam penelitian ini penulis memberi judul “KONSEP KECERDASAN EMOSI DANIEL GOLEMAN DAN RELEVANSINYA DENGAN KESEHATAN MENTAL ZAKIAH DARADJAT”
Untuk menghindari kesalahan dan demi terarahnya pembahasan, maka penulis merasa perlu untuk menegaskan istilah-istilah pokok yang terdapat dalam judul tersebut. Adapun judul yang perlu dijelaskan adalah:
“Konsep”
Diambil dari kata “concept” (Inggris) yang mempunyai arti konsep, bagan dan pengertian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengertian, pendapat, rancangan, cita-cita yang telah dipikirkan. Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gambaran ide, pengertian, pendapat, maupun gagasan Daniel Goleman tentang kecerdasan emosi dan pendapat Zakiah Daradjat tentang kesehatan mental.
“Kecerdasan Emosi”
Istilah ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada tahun 1995 dan untuk pertama kalinya dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Petersolovey dari Horvard University dan Jhon Mayer dari University of Newhampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan hidup manusia, antara lain empati, mengungkapkan, memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan mengendalikan diri. Jadi, kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, mengarahkan emosi, sehingga dapat dimenej secara proposional ketika berhadapan dengan tantangan hidup, musibah, dan perlawanan orang lain.
“Relevansi”
Relevansi berarti hubungan, kaitan. Dan yang dimaksud relevansi dalam studi ini yaitu keterkaitan konsep kecerdasan emosi Daniel Goleman dengan kesehatan mental Zakiah Daradjat.
“Kesehatan Mental”
Yaitu kesehatan berasal dari kata “sehat” yang berarti dalam keadaan fisik yang baik, bebas dari sakit. Dalam Undang-Undang RI bahwa sehat adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, mental, sosial bukan hanya dari penyakit cacat dan kelemahan. Mental (dari kata Latin mens, mentis) artinya jiwa, roh, nyawa, dan semangat. “Mental” adalah kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik dari seseorang yang tercermin dalam cita-cita, sikap, dan kepribadian. Jadi, kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan, kemampuan dan fungsi jiwanya yang berupa fikiran, perasaan, sikap, pandangan, dan keyakinan hidup.
Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dengan pesatnya, bukan hanya di bidang teknologi, informasi, kedokteran, pertanian, akan tetapi juga di bidang psikologi, yaitu tentang konsep kecerdasan manusia.
Konsep kecerdasan manusia, jika dilihat dari sejarah perkembangannya pada mulanya lahir akibat adanya berbagai tes mental yang dilakukan oleh berbagai psikolog untuk menilai manusia ke dalam berbagai tingkat kecerdasan. Diistilahkan atau lebih dikenal dengan kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient). Tes IQ adalah cara yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya angka yang dapat menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang . Jadi menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasannya.
Seiring dengan perkembangannya, tes inteligensi yang muncul pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Alferd Binet (1980), ternyata tes inteligensi memiliki kekurangan atau kelemahan. Kekurangan itulah yang melatarbelakangi munculnya teori baru dan sebagai alat untuk menyerang teori tersebut. Teori baru ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence). Menurut Daniel Goleman, EQ sama ampuhnya dengan IQ, dan bahkan lebih. Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ) bukanlah ukuran kecerdasan (Intelligence) yang sebenarnya, ternyata emosilah parameter yang paling menentukan dalam kehidupan manusia. Menurut Daniel Goleman (IQ) hanya mengembangkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, sementara 80 % lainnya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Ungkapan Goleman ini seolah menjadi jawaban bagi situasi ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah masyarakat, di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak mampu mencapai prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih rendah.
Kelebihan lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa kecerdasan emosi bukanlah kecerdasan statis yang diperoleh karena ‘warisan’ orang tua seperti IQ. Selama ini telah diketahui bahwa seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi seorang jenius. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang tua ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan ‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan ber-IQ tinggi juga. Adapun kecerdasan emosi dapat tumbuh dan berkembang seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada proses pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.