piagam asean (kompascom)

CatatanPiagam ASEAN
Jumat, 29 Februari 2008 | 02:03 WIB

Makmur Keliat

Ada tiga catatan yang perlu dicermati dalam pembahasan tentang dokumen Piagam ASEAN. Pertama, terkait dengan tahapan dari dokumen. Pada saat ini isunya bukanlah pada amandemen atau review terhadap piagam itu, melainkan pada menyetujui untuk ratifikasi atau menolaknya.

Usul amandemen oleh setiap negara memang dimungkinkan, tetapi setelah piagamnya belaku dengan mekanisme dan proses yang khas (lihat Pasal 48). Piagam juga dapat di-review, tetapi setelah berlaku selama lima tahun atau jika diputuskan oleh ASEAN Summit (lihat Pasal 50). Karena itu, pilihannya hanya dua, take it or leave it.

Kedua, terkait dengan status ownership dari dokumen pada tataran domestik. Sebelum ditandatangani di Singapura pada akhir tahun lalu, draf naskah dokumen tidak terpublikasi secara luas kepada publik di Indonesia. Draf dokumen ini hanya beredar di kalangan terbatas, yaitu melalui mekanisme warga terkemuka (eminent persons) yang ditunjuk oleh pemerintahan negara anggota ASEAN ataupun melalui mekanisme High Level Task Force. Kurangnya konsultasi publik yang luas ini, kemungkinan besar karena alasan dokumen rahasia negara, telah membawa konsekuensi yang serius dalam menilai signifikansi naskah Piagam ASEAN itu.

Salah satu konsekuensi dari konsultasi publik yang lemah itu adalah adanya kesulitan untuk melihat sejauh mana dinamika yang telah terjadi dalam proses perundingan. Terdapat juga kesulitan untuk menganalisis seberapa besar proses reduksi yang telah terjadi dalam setiap tahap perundingan kecuali minutes dari setiap tahapan pertemuan dipaparkan kepada publik. Jika ini tidak dilakukan, perceptual gap antara para negosiator dan pembuat kebijakan di parlemen juga dengan para analis kebijakan tentang manfaat piagam ini bagi Indonesia akan sukar dihilangkan.

Ketiga, terkait dengan hakikat dari dokumen. Setiap dokumen tentang kesepakatan regional ataupun internasional tidak pernah sempurna dan memuaskan bagi setiap negara pihak. Perbedaan kepentingan, keterbatasan waktu, dan keterbatasan sumber daya telah mengakibatkan dokumen yang dihasilkan oleh para negosiator tidak akan pernah bisa sempurna seperti yang mungkin diharapkan oleh para legislator ataupun oleh para analis. Beberapa ambiguity dan loopholes dari pasal-pasal yang ada dalam dokumen kemungkinan akan tetap terjadi dan juga beberapa ”pekerjaan rumah” masih harus diselesaikan.

Karena teks dokumen kesepakatan pada dasarnya mengundang ruang interpretasi, selalu terdapat kemungkinan bagi negara pihak untuk terbujuk melakukan tindakan ketidaktaatan (non-compliance) dan kelicikan (cheating). Karena itu, memanfaatkan secara maksimal ruang untuk melakukan tindakan non-compliance dan cheating demi kepentingan nasional merupakan suatu praktik umum dalam perilaku negara ketika suatu dokumen kerja sama regional ataupun internasional telah ditandatangani dan diratifikasi. ASEAN tampaknya sangat menyadari hal ini terlihat dari adanya pencantuman tentang isu itu pada Pasal 20 Ayat 4 dan Pasal 27. Ringkasnya pertarungan untuk memperjuangkan kepentingan nasional sebenarnya tidak berhenti setelah suatu dokumen ditandatangani dan diratifikasi.

Identifikasi terhadap pasal-pasal yang penulis lakukan menunjukkan bahwa pertarungan untuk memperjuangkan kepentingan nasional pascaratifikasi melalui perilaku cheating kemungkinan akan muncul dari beberapa hal berikut. Pertama, karena ketidakjelasan kerangka waktu. Hal ini, misalnya, tampak pada pembentukan ASEAN Human Rights Body. Pasal 14 Ayat 1 tidak menyebutkan secara spesifik kerangka waktu kapan Badan HAM ASEAN itu harus dibentuk. Demikian juga halnya pada mekanisme penyelesaian sengketa untuk seluruh bidang. Pasal 22 Ayat 2 tidak memberikan kerangka waktu spesifik kapan mekanisme itu harus dibentuk.

Kedua, karena ketidakjelasan makna. Hal ini, misalnya, tampak pada istilah ”pelanggaran serius” (serious breach). Pasal 20 Ayat 3 menyebutkan bahwa KTT ASEAN memiliki otoritas untuk membahas pelanggaran serius terhadap Piagam ASEAN. Akan tetapi, apa yang dimaksud dengan pelanggaran serius itu sama sekali tidak dirumuskan secara jelas. Situasi ini semakin kompleks karena status KTT ASEAN yang tidak banyak berubah. Status KTT sebagai mekanisme pembuatan keputusan tertinggi di ASEAN hanya akan menghasilkan dua kemungkinan dalam membahas sengketa serius itu.

Kemungkinan pertama, tidak akan ada pembahasan tentang pelanggaran serius karena setiap kepala negara akan berupaya secara maksimal untuk menghindarkan adanya agenda pembicaraan tentang pelanggaran serius dalam pertemuan mereka. Kemungkinan kedua, setiap kepala negara selalu berupaya memasukkan agenda pelanggaran serius dalam agenda KTT. Jika ini yang terjadi, kapasitas KTT akan sangat terbatas untuk menjadi instrumen yang efektif dalam menyelesaikan pelanggaran serius. Jika pilihan pertama yang terjadi, KTT tentu saja akan melestarikan ASEAN way dan kepala negara ASEAN tetap dapat mengklaim bahwa mereka menjadi masters of its own procedures. Sebaliknya, jika yang kedua dilakukan, kepala negara dalam pertemuan KTT akan memiliki beban kerja yang sangat sarat dan mereka akan menjadi victims of its own procedures. Pilihan apa pun yang diambil KTT sebagai instrumen untuk menyelesaikan pelanggaran serius tampaknya akan sukar untuk menjadi efektif.

Ketiga, karena kebutuhan untuk menciptakan rules of procedures. Piagam ASEAN masih meninggalkan setumpuk pekerjaan rumah untuk menciptakan rules of procedures sebagai akibat munculnya struktur baru. Kebutuhan untuk memiliki rules of procedures itu, misalnya, terkait dengan kehadiran ASEAN Community Council (lihat Pasal 21), dengan ASEAN Coordinating Council untuk bidang keuangan (lihat Pasal 30 Ayat 1) dan kerja sama dengan pihak luar (lihat Pasal 41 Ayat 7). Isu yang krusial di sini adalah pemantauannya. Karena biasanya sarat dengan technicality, kapasitas DPR dan masyarakat umumnya sangat terbatas untuk memantaunya dan memiliki kecenderungan untuk menjadi ruang eksklusif dari para negosiator.

Keempat karena kapasitas keuangan ASEAN. Walau otoritasnya semakin besar, dan walau beberapa struktur baru diciptakan, tidak tampak kejelasan tentang perubahan dalam kapasitas keuangan ASEAN. Sejauh menyangkut kontribusi pendanaan, naskah Piagam ASEAN hanya menyebutkan Sekretariat ASEAN akan diberikan sumber-sumber keuangan yang dibutuhkan (Pasal 30 Ayat 1) dan setiap negara anggota memberikan kontribusi finansial tahunan yang sama (equal).

Makmur Keliat Pengajar Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

----

Sekjen ASEAN: Piagam akan Segera Terwujud
Rabu, 30 Juli 2008 | 16:35 WIB

JAKARTA, RABU - Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitswan optimistis, seluruh anggota ASEAN akan meratifikasi Piagam ASEAN, termasuk Indonesia.

Hingga awal bulan ini, ada empat negara ASEAN yang belum menandatangani piagam tersebut, yakni Indonesia, Thailand, Filipina, dan Myanmar. Pekan lalu Myanmar yang tadinya dianggap bakal sulit meratifikasi piagam itu justru telah menandatangani kesepakatan tersebut, mendului tiga negara pendiri ASEAN.

"Kami sangat yakin, Indonesia, Thailand, dan Filipina akan meratifikasi Piagam ASEAN. Kami menghormati proses konstitusional masing-masing negara tersebut," kata Surin usai memberikan sambutan dalam acara International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ke-3 di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (30/7).

Surin menyatakan, semua negara Asia Tenggara diharapkan telah menyepakati Piagam ASEAN ini pada KTT ASEAN yang akan diselenggarakan di Bangkok, Thailand, tahun ini. Salah satu tujuan diratifikasinya Piagam ASEAN adalah terciptanya kesatuan dalam pemasaran internasional sebagaimana sudah dilakukan oleh Uni Eropa.

----

Indonesia dan Piagam ASEAN
Rabu, 5 Maret 2008 | 01:46 WIB

Ben Perkasa Drajat

Setelah para kepala negara ASEAN menandatangani Piagam ASEAN di Singapura tanggal 20 November 2007, timbul diskursus di antara masyarakat Indonesia tentang perlunya Indonesia mengikatkan diri lebih jauh dalam kerja sama ASEAN.

Ada 10 alasan mengapa Indonesia harus meratifikasi Piagam ASEAN.

Pertama, ASEAN adalah salah satu dari sedikit organisasi regional yang bersifat ”anomali” karena selama 40 tahun tidak memiliki landasan hukum (konstitusi). Dengan ketiadaan AD/ART, ASEAN tidak diakui sebagai subyek hukum (legal personality) internasional. Landasan kerja samanya sebatas komitmen politis non-binding berupa deklarasi, statement dan keputusan para menteri dan KTT. Piagam ASEAN mereformasi struktur dan mekanisme organisasi yang lebih jelas, termasuk pemantauan (Pasal 27), penyelesaian sengketa secara damai (Pasal 22-26), pengambilan keputusan (Pasal 20 dan 21), serta hak dan kewajiban anggota (Pasal 5).

Kedua, materi piagam disusun secara singkat, padat, dan memuat pokok-pokok tata-kerja organisasi. Meski Pasal 48 membuka kemungkinan amandemen, prosedurnya cukup berat, yaitu sebelum diberlakukan harus diratifikasi semua negara. Aturan pelaksanaan diatur dalam Rules of Procedure yang modalitasnya lebih fleksibel (Pasal 21). Fleksibilitas akan menguntungkan Indonesia sebagai negara yang mekanisme koordinasi internalnya relatif kompleks.

Ketiga, Pasal 27 mengatur mekanisme pemantauan (monitoring) yang diharapkan mampu mencegah terjadinya non-compliance. Jika ada indikasi pengingkaran komitmen, apalagi cheating, dapat dicegah melalui rekomendasi Sekjen ASEAN (yang memiliki kewenangan lebih besar dibanding sekarang) kepada KTT. Selain itu, masing-masing negara juga berhak menyampaikan keberatan atas pelanggaran terhadap komitmen bersama melalui organ-organ ASEAN, seperti Coordinating Council (Pasal 8), Community Council (Pasal 9), Sectoral Ministerial Bodies (Pasal 10) atau Committee of Permanent Representatives yang merupakan lembaga baru bentukan Piagam (Pasal 12). Potensi ”ketidakpatuhan” dan ”kecurangan” tidak perlu terlalu dirisaukan karena dengan ”ASEAN yang lebih berkepastian hukum” justru akan lebih mudah menangkalnya.

Lebih menguntungkan

Keempat, ihwal pengambilan keputusan yang berdasar konsensus (Pasal 20), Joseph M Grieco (1999) berpendapat, bagi negara berpengaruh (hegemon) seperti Indonesia di ASEAN, penerapan asas konsensus justru lebih menguntungkan karena dapat efektif melakukan ”tekanan” kepada anggota lain. Di luar itu, Piagam juga membuka kemungkinan mekanisme ”non-konsensus”, yakni formula ”ASEAN minus X” yang memungkinkan partisipasi anggota untuk suatu komitmen ekonomi tertentu, dilakukan kemudian (menyusul).

Kelima, Pasal 22 hingga 28 mengatur mekanisme penyelesaian sengketa secara damai melalui dialog, konsultasi, negosiasi, good offices, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Piagam juga mengatur ketentuan penyelesaian sengketa perbatasan melalui Treaty of Amity and Cooperation (TAC) in Southeast Asia dan isu-isu ekonomi melalui ”Enhanced Dispute Settlement Mechanism”. Penyelesaian sengketa dengan mekanisme PBB (Pasal 28) juga dimungkinkan, tetapi penggunaan mekanisme internal ASEAN harus diprioritaskan. Ketentuan ini juga akan menguntungkan Indonesia sebagai negara besar dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara.

Keenam, kesepakatan pembentukan Badan HAM ASEAN (Pasal 14) dicapai melalui perjuangan Indonesia yang berhasil meyakinkan anggota lain untuk menerima konsep perlindungan HAM. Sejak 1993, pada tingkat track two diplomacy, anggota ASEAN menunjukkan resistensi untuk memuat ”konsep perlindungan” (protection), yang bahkan dalam Bali Concord II 2003 masih disepakati konsep promotion. Perjuangan Indonesia berhasil menghasilkan loncatan-katak (leap froging) dalam membentuk mekanisme perlindungan HAM ASEAN meski kenyataannya hanya empat negara ASEAN yang memiliki Komnas HAM.

Agen perubahan

Ketujuh, Pasal 47 Piagam mensyaratkan penyerahan instrumen ratifikasi dari semua anggota berdasar prosedur internal masing-masing. Piagam berlaku setelah 30 hari diterimanya instrumen ratifikasi terakhir (ke-10). Hingga 29 Februari 2008, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Laos telah menyerahkan instrumen ratifikasi kepada Sekjen ASEAN. Keenam negara ASEAN lain, termasuk Indonesia, masih ditunggu pemenuhan kewajibannya. Jika ada satu anggota yang tidak mendeposit instrumen ratifikasi, maka berdasarkan Ayat 4 Pasal 47, Piagam belum akan berlaku. Hingga kapan pun.

Kedelapan, secara politik, semakin kuat ASEAN semakin baik bagi Indonesia. Melalui ASEAN, Asia Tenggara menjelma menjadi kawasan yang aman dan stabil sehingga berdampak positif bagi ketahanan nasional RI. Secara geopolitik, resurgence China dan India sebagai kekuatan hegemon membutuhkan ASEAN yang solid sebagai penyeimbang dengan Indonesia sebagai kekuatan utama di dalamnya. Tantangan globalisasi serta liberalisasi juga membutuhkan ASEAN yang kompetitif dalam wadah pasar tunggal yang menjamin arus barang dan jasa, investasi, dan tenaga-kerja.

Kesembilan, Indonesia adalah negara yang terluas wilayahnya, berpenduduk terbanyak, paling demokratis, dan ber-PDB terbesar (280 miliar dollar AS dari total 876 miliar dollar AS PDB ASEAN pada 2005). Dalam kapasitas ini, Indonesia harus menunjukkan kepemimpinannya yang nyata; dan meratifikasi Piagam adalah salah satu sumbangan terbesar kita bagi ASEAN saat ini. Perlu dicatat, dari berdirinya hingga kini tidak satu pun keputusan ASEAN—pada level apa pun—yang tidak mempertimbangkan sikap/posisi Indonesia.

Kesepuluh, dengan piagamnya, ASEAN akan menjelma menjadi agen perubahan (agent of changes) yang mendorong peningkatan kapasitas domestik Indonesia di segala bidang kehidupan. Karena itu, rakyat Indonesia perlu mendukung ratifikasi Piagam ASEAN guna melapangkan jalan bagi pembentukan Masyarakat ASEAN yang akan memberi kontribusi bagi kemajuan dan kesejahteraan Indonesia pada masa depan.

Ben Perkasa Drajat Pemerhati Masalah Internasional

------

CatatanPiagam ASEAN
Jumat, 29 Februari 2008 | 02:03 WIB

Makmur Keliat

Ada tiga catatan yang perlu dicermati dalam pembahasan tentang dokumen Piagam ASEAN. Pertama, terkait dengan tahapan dari dokumen. Pada saat ini isunya bukanlah pada amandemen atau review terhadap piagam itu, melainkan pada menyetujui untuk ratifikasi atau menolaknya.

Usul amandemen oleh setiap negara memang dimungkinkan, tetapi setelah piagamnya belaku dengan mekanisme dan proses yang khas (lihat Pasal 48). Piagam juga dapat di-review, tetapi setelah berlaku selama lima tahun atau jika diputuskan oleh ASEAN Summit (lihat Pasal 50). Karena itu, pilihannya hanya dua, take it or leave it.

Kedua, terkait dengan status ownership dari dokumen pada tataran domestik. Sebelum ditandatangani di Singapura pada akhir tahun lalu, draf naskah dokumen tidak terpublikasi secara luas kepada publik di Indonesia. Draf dokumen ini hanya beredar di kalangan terbatas, yaitu melalui mekanisme warga terkemuka (eminent persons) yang ditunjuk oleh pemerintahan negara anggota ASEAN ataupun melalui mekanisme High Level Task Force. Kurangnya konsultasi publik yang luas ini, kemungkinan besar karena alasan dokumen rahasia negara, telah membawa konsekuensi yang serius dalam menilai signifikansi naskah Piagam ASEAN itu.

Salah satu konsekuensi dari konsultasi publik yang lemah itu adalah adanya kesulitan untuk melihat sejauh mana dinamika yang telah terjadi dalam proses perundingan. Terdapat juga kesulitan untuk menganalisis seberapa besar proses reduksi yang telah terjadi dalam setiap tahap perundingan kecuali minutes dari setiap tahapan pertemuan dipaparkan kepada publik. Jika ini tidak dilakukan, perceptual gap antara para negosiator dan pembuat kebijakan di parlemen juga dengan para analis kebijakan tentang manfaat piagam ini bagi Indonesia akan sukar dihilangkan.

Ketiga, terkait dengan hakikat dari dokumen. Setiap dokumen tentang kesepakatan regional ataupun internasional tidak pernah sempurna dan memuaskan bagi setiap negara pihak. Perbedaan kepentingan, keterbatasan waktu, dan keterbatasan sumber daya telah mengakibatkan dokumen yang dihasilkan oleh para negosiator tidak akan pernah bisa sempurna seperti yang mungkin diharapkan oleh para legislator ataupun oleh para analis. Beberapa ambiguity dan loopholes dari pasal-pasal yang ada dalam dokumen kemungkinan akan tetap terjadi dan juga beberapa ”pekerjaan rumah” masih harus diselesaikan.

Karena teks dokumen kesepakatan pada dasarnya mengundang ruang interpretasi, selalu terdapat kemungkinan bagi negara pihak untuk terbujuk melakukan tindakan ketidaktaatan (non-compliance) dan kelicikan (cheating). Karena itu, memanfaatkan secara maksimal ruang untuk melakukan tindakan non-compliance dan cheating demi kepentingan nasional merupakan suatu praktik umum dalam perilaku negara ketika suatu dokumen kerja sama regional ataupun internasional telah ditandatangani dan diratifikasi. ASEAN tampaknya sangat menyadari hal ini terlihat dari adanya pencantuman tentang isu itu pada Pasal 20 Ayat 4 dan Pasal 27. Ringkasnya pertarungan untuk memperjuangkan kepentingan nasional sebenarnya tidak berhenti setelah suatu dokumen ditandatangani dan diratifikasi.

Identifikasi terhadap pasal-pasal yang penulis lakukan menunjukkan bahwa pertarungan untuk memperjuangkan kepentingan nasional pascaratifikasi melalui perilaku cheating kemungkinan akan muncul dari beberapa hal berikut. Pertama, karena ketidakjelasan kerangka waktu. Hal ini, misalnya, tampak pada pembentukan ASEAN Human Rights Body. Pasal 14 Ayat 1 tidak menyebutkan secara spesifik kerangka waktu kapan Badan HAM ASEAN itu harus dibentuk. Demikian juga halnya pada mekanisme penyelesaian sengketa untuk seluruh bidang. Pasal 22 Ayat 2 tidak memberikan kerangka waktu spesifik kapan mekanisme itu harus dibentuk.

Kedua, karena ketidakjelasan makna. Hal ini, misalnya, tampak pada istilah ”pelanggaran serius” (serious breach). Pasal 20 Ayat 3 menyebutkan bahwa KTT ASEAN memiliki otoritas untuk membahas pelanggaran serius terhadap Piagam ASEAN. Akan tetapi, apa yang dimaksud dengan pelanggaran serius itu sama sekali tidak dirumuskan secara jelas. Situasi ini semakin kompleks karena status KTT ASEAN yang tidak banyak berubah. Status KTT sebagai mekanisme pembuatan keputusan tertinggi di ASEAN hanya akan menghasilkan dua kemungkinan dalam membahas sengketa serius itu.

Kemungkinan pertama, tidak akan ada pembahasan tentang pelanggaran serius karena setiap kepala negara akan berupaya secara maksimal untuk menghindarkan adanya agenda pembicaraan tentang pelanggaran serius dalam pertemuan mereka. Kemungkinan kedua, setiap kepala negara selalu berupaya memasukkan agenda pelanggaran serius dalam agenda KTT. Jika ini yang terjadi, kapasitas KTT akan sangat terbatas untuk menjadi instrumen yang efektif dalam menyelesaikan pelanggaran serius. Jika pilihan pertama yang terjadi, KTT tentu saja akan melestarikan ASEAN way dan kepala negara ASEAN tetap dapat mengklaim bahwa mereka menjadi masters of its own procedures. Sebaliknya, jika yang kedua dilakukan, kepala negara dalam pertemuan KTT akan memiliki beban kerja yang sangat sarat dan mereka akan menjadi victims of its own procedures. Pilihan apa pun yang diambil KTT sebagai instrumen untuk menyelesaikan pelanggaran serius tampaknya akan sukar untuk menjadi efektif.

Ketiga, karena kebutuhan untuk menciptakan rules of procedures. Piagam ASEAN masih meninggalkan setumpuk pekerjaan rumah untuk menciptakan rules of procedures sebagai akibat munculnya struktur baru. Kebutuhan untuk memiliki rules of procedures itu, misalnya, terkait dengan kehadiran ASEAN Community Council (lihat Pasal 21), dengan ASEAN Coordinating Council untuk bidang keuangan (lihat Pasal 30 Ayat 1) dan kerja sama dengan pihak luar (lihat Pasal 41 Ayat 7). Isu yang krusial di sini adalah pemantauannya. Karena biasanya sarat dengan technicality, kapasitas DPR dan masyarakat umumnya sangat terbatas untuk memantaunya dan memiliki kecenderungan untuk menjadi ruang eksklusif dari para negosiator.

Keempat karena kapasitas keuangan ASEAN. Walau otoritasnya semakin besar, dan walau beberapa struktur baru diciptakan, tidak tampak kejelasan tentang perubahan dalam kapasitas keuangan ASEAN. Sejauh menyangkut kontribusi pendanaan, naskah Piagam ASEAN hanya menyebutkan Sekretariat ASEAN akan diberikan sumber-sumber keuangan yang dibutuhkan (Pasal 30 Ayat 1) dan setiap negara anggota memberikan kontribusi finansial tahunan yang sama (equal).

Makmur Keliat Pengajar Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

------

Sekjen ASEAN: Piagam akan Segera Terwujud
Rabu, 30 Juli 2008 | 16:35 WIB

JAKARTA, RABU - Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitswan optimistis, seluruh anggota ASEAN akan meratifikasi Piagam ASEAN, termasuk Indonesia.

Hingga awal bulan ini, ada empat negara ASEAN yang belum menandatangani piagam tersebut, yakni Indonesia, Thailand, Filipina, dan Myanmar. Pekan lalu Myanmar yang tadinya dianggap bakal sulit meratifikasi piagam itu justru telah menandatangani kesepakatan tersebut, mendului tiga negara pendiri ASEAN.

"Kami sangat yakin, Indonesia, Thailand, dan Filipina akan meratifikasi Piagam ASEAN. Kami menghormati proses konstitusional masing-masing negara tersebut," kata Surin usai memberikan sambutan dalam acara International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ke-3 di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (30/7).

Surin menyatakan, semua negara Asia Tenggara diharapkan telah menyepakati Piagam ASEAN ini pada KTT ASEAN yang akan diselenggarakan di Bangkok, Thailand, tahun ini. Salah satu tujuan diratifikasinya Piagam ASEAN adalah terciptanya kesatuan dalam pemasaran internasional sebagaimana sudah dilakukan oleh Uni Eropa.

----

ASEAN Siapkan Aturan Hukum Perlindungan Tenaga Kerja Perempuan
Rabu, 9 April 2008 | 15:27 WIB

MATARAM, RABU-Guna melindungi hak dan kewajiban para tenaga kerja wanita, Departemen Luar Negeri Indonesia menyiapkan ketentuan hukum, sebagai landasan konstitusional dan aturan main yang diharapkan dipatuhi negara pengirim maupun negara penerima tenaga kerja di kawasan Asean.

Hal itu dikatakan Dian Triansyah Djani, Dirjen Kerjasama Asean Deplu, kepada pers usai acara pembukaan simposium Pemanfaatan Kerjasama Asean Dalam Rangka Peningkatan Pemberdayaan Perempuan di Indonesia, hari Rabu (9/4) di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Dirjen tidak merinci latar belakang ide munculnya aturan hukum yang nantinya dijadikan acuan dan berlaku di tiap anggota Asean, hanya dikatakan banyak pelanggaran terhadap perempuan seperti trafficking. Perdagangan perempuan dan anak dikatakan menjadi prioritas utama bagi Deplu Republik Indonesia untuk dicarikan solusinya. Sepanjang pantauan Deplu, dari sejumlah negara Asean, baru Pilifina yang menyambut baik ide yang digulirkan Indonesia itu.

Menurut Dirjen, aturan main itu adalah tindak lanjut Piagam Asean yang ditanda-tangani 20 November 2007 di Singapura, yang memberi konsekwensi bahwa anggota negara Asean bersedia mematuhi aturan hukum yang bersifat mengikat hak-hak dan kewajibannya di dalam organisasi, kemudian bekerjasama melakukan monitoring terhadap kepatuhan, selain sama-sama memiliki peranan dalam hubungan eksternal dan perkembangan regional.

Karenanya, Deplu saat ini turun ke berbagai daerah untuk menghimpun informasi, aspirasi dan berbagai persoalan yang berkembang. Informasi dari berbagai daerah itu jadi masukan dalam aturan hukum yang antara lain memuat prinsip dasar, dan ketentuan pokok, bersifat dinamis serta mampu mengantisipasi bentuk-bentuk persoalan yang muncul dan berkembang.

Masukan dari pemangku kepentingan di daerah misalnya, Asean kini tengah mempersiapkan perangkatnya antara lain penyusunan protocol, Term Of Reference (TOR), rules of procedures dan berbagai ketentuan yang terkait lainnya. Dengan demikian, setidaknya negara pengirim dan penerima tenaga kerja mengetahui kewajibannya masing-masing, terutama dalam upaya memerangi perdagangan perempuan dan anak, kata Dirjen.(RUL)


Senin, 26 November 2007

Publik Ragukan Peran ASEAN

Yohan Wahyu dan Suwardiman

Penandatanganan piagam pada Konferensi Tingkat Tinggi Ke-13 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN di Singapura, 20 November, menjadi tonggak sejarah bagi terwujudnya tujuan awal pembentukan organisasi ini tahun 1967. Namun, publik cenderung menyangsikan kemampuan ASEAN merealisasikan semua poin yang disepakati dalam piagam tersebut.

Piagam ASEAN melandasi lembaga tersebut dalam melaksanakan semua kegiatan yang berorientasi terhadap kepentingan rakyat di setiap negara ASEAN. Penandatanganan piagam ini pun sekaligus menjadi pintu terwujudnya Komunitas ASEAN tahun 2015 yang meliputi bidang keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya sesuai dengan kesepakatan negara-negara anggota ASEAN di Bali tahun 2003.

Beberapa poin penting dari piagam yang terhitung berlaku setelah ada ratifikasi dari parlemen semua negara anggota ASEAN tersebut adalah menjaga serta meningkatkan perdamaian dan keamanan kawasan, membentuk pasar tunggal berbasis produksi yang kompetitif dan terintegrasi secara ekonomi, memperkuat demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik, menegakkan hukum, serta mengedepankan hak asasi manusia (HAM). Untuk poin yang disebut terakhir ini, ASEAN sepakat membentuk Badan HAM yang mekanismenya ditetapkan oleh para menteri luar negeri.

Publik cenderung melihat beberapa hal dalam Piagam ASEAN ini sulit untuk direalisasikan meskipun beberapa poin penting diakui akan mampu diwujudkan oleh negara-negara anggotanya.

Sikap pesimistis ditunjukkan responden terhadap kemampuan ASEAN mendorong penciptaan pemerintahan yang bersih dan menjamin kepastian hukum. Keraguan mereka mencapai 69,4 persen dan 53,6 persen.

Sebaliknya, dari semua poin yang termaktub dalam piagam tersebut, mayoritas publik (sebanyak 78,3 persen) beranggapan bidang sosial-budayalah yang paling mungkin untuk direalisasikan. Apresiasi positif juga dilontarkan 76,2 persen responden terhadap kemampuan mewujudkan keamanan di kawasan Asia Tenggara.

Sementara itu, kebijakan ekonomi ASEAN yang berniat membangun Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) pada tahun 2015 diyakini oleh 69,6 persen responden akan mampu direalisasikan. Dengan AEC, akan terbuka pasar besar regional yang menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan satu basis produksi seperti yang sudah dilakukan oleh Uni Eropa.

Peran ASEAN

Kegagalan ASEAN menyusun rancangan berbasis regional dalam penyelesaian krisis ekonomi pada tahun 1998 seolah mengangkat kembali pertanyaan soal relevansi dan peranan ASEAN sebagai organisasi regional.

Padahal, setahun sebelumnya (1997) dalam pertemuan informal di Kuala Lumpur, disepakati proyek ambisius yang terangkum dalam ASEAN Vision 2020, seperti memelihara, mempromosikan, mempelajari, dan memperkuat hal-hal yang secara esensial merupakan kerja sama antarnegara, bukan struktur integrasi regional.

Apa yang ditetapkan melalui visi ASEAN 2020 tersebut ternyata gaungnya tertutup oleh krisis ekonomi dan politik yang menerpa hampir semua negara anggota dua tahun menjelang abad ke-21.

Organisasi yang beranggotakan 11 negara ini pun tak berkutik menghadapi gelombang krisis. ASEAN sebagai organisasi regional dinilai tidak mampu menjalankan fungsi ekonominya secara konkret pada saat-saat kritis. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kontribusi ASEAN bagi pertumbuhan dan stabilitas di kawasan ini.

Kegamangan atas peran ASEAN di bidang ekonomi pun tercermin dari suara publik yang terpecah dua antara optimistis dan pesimistis. Sebanyak 47,2 persen responden menganggap ASEAN saat ini belum berhasil menunjukkan perannya dalam usaha mewujudkan kawasan ini sebagai kekuatan ekonomi baru. Adapun 48,5 persen responden lain menganggap sebaliknya.

Peran ASEAN dalam mendorong proses demokratisasi juga diragukan, terbukti dalam kasus Myanmar. Hanya 38,5 persen responden yang menilai ASEAN telah berperan dalam menangani problem politik di negeri pagoda itu.

Sementara itu, peran lembaga ini dalam menengahi konflik-konflik perbatasan yang dihadapi negara-negara anggotanya dinilai minim oleh 58,3 persen responden. Pendapat publik ini boleh jadi dilatarbelakangi oleh tidak adanya tindakan-tindakan riil dari ASEAN dalam menengahi konflik antara Indonesia dan Malaysia terkait dengan kasus Sipadan-Ligitan dan Ambalat, atau konflik Malaysia dan Singapura soal kepemilikan Pulau Batu Putih.

Pesimisme tampaknya mendominasi pendapat publik saat ditanyakan soal peran ASEAN selama ini bagi negara-negara anggotanya. Sebanyak 62,7 persen responden menilai bahwa organisasi ASEAN belum banyak berperan dalam memberantas perdagangan perempuan dan anak-anak di kawasan ini.

Posisi Indonesia

Bagaimanapun, keberadaan ASEAN bagi Indonesia tetap dianggap penting. Mayoritas responden (95,7 persen) yang melihat organisasi negara-negara di Asia Tenggara ini memberikan nilai positif bagi kepentingan Indonesia.

Pentingnya ASEAN bagi Indonesia juga disebut dalam survei CSIS tentang sikap generasi muda Indonesia dalam memandang ASEAN. Survei ini menyebutkan, ASEAN dinilai positif bagi kepentingan nasional Indonesia yang sekaligus menjadi prioritas yang lebih tinggi dibandingkan kepentingan bersama dalam tatanan regional (Sutopo, 1988).

Selain faktor sejarah Indonesia yang menjadi salah satu negara pendiri ASEAN, kepemimpinan Indonesia di ASEAN juga menjadi indikator penting kiprah Indonesia di tingkat Asia Tenggara.

Secara umum responden menilai pengaruh Indonesia di Asia Tenggara masih lemah. Mayoritas responden menganggap pengaruh Indonesia di bidang politik, ekonomi, militer, teknologi, diplomasi, dan sosial-budaya di tingkat Asia Tenggara belum cukup kuat menandingi Singapura, yang menurut sebagian besar responden (51,7 persen) dianggap sebagai negara paling unggul di Asia Tenggara.

Eksistensi ASEAN sendiri selama 40 tahun terakhir menunjukkan pengaruh yang cukup baik di dunia internasional.

Lebih dari separuh responden (56,5 persen) melihat posisi ASEAN di dunia internasional semakin besar. Namun, di sisi yang lain, sebagian besar responden melihat ASEAN masih belum mampu mengimbangi kekuatan negara-negara Barat atau organisasi kawasan lain di dunia, baik di bidang politik, ekonomi, maupun militer.

Masih minimnya posisi tawar ASEAN di dunia internasional tidak lepas dari kondisi internal negara-negara anggota ASEAN, termasuk di dalamnya adalah soal kekompakan dan soliditas antarnegara anggota ASEAN, yang menurut separuh lebih responden (59,2 persen) masih belum kuat.

Tak pelak, publik menanti realisasi dari Piagam ASEAN yang mulai berlaku sejak parlemen di setiap negara penanda tangan meratifikasinya. (Litbang Kompas)

Teman DiskusiSkripsi.com


 

Free Affiliasi Program